Dear Ayah Bunda,
Pasti kaget deh begitu mendapatkan surat ini hehe. Ketika mungkin kebanyakan anak - anak yang lain menceritakan segala sesuatunya kepada orangtua mereka melalui telefon atau skype, aku malah memilih untuk menceritakannya melalui surat ini. Soalnya ada banyak hal yang ingin aku ceritakan dan kayanya lebih enak kalau diceritakan melalui tulisan daripada omongan, apalagi aku enggak pandai untuk menceritakannya secara langsung (walaupun aku tahu, aku juga engga sebagus itu dalam menulis, tetapi kayanya masih lebih baik daripada ketika aku berbicara hehe). Melalui surat ini aku ingin menceritakan berbagai hal yang aku alami selama disini. Karena setelah menjalani enam bulan ini, aku mulai mendapatkan jawaban atas rasa penasaranku, tentang bagaimana orang - orang bisa mengatakan bahwa tinggal di luar sana bisa membuka pikiran dan mata seseorang, juga bagaimana rasanya mencari jati diri mereka. Mungkin aku belum bisa mengatakan ke AyBun bahwa aku sudah berpikiran luas, atau menjadi pribadi yang lebih baik. Karena aku sendiri pun tidak bisa banyak menilai tentang perubahan yang ada di dalam diriku, yang bisa menilai adalah orang - orang yang dari dulu benar - benar mengenal aku. Tapi aku bisa mengatakan bahwa tinggal di negara yang memiliki berbagai macam orang dari latar belakang budaya, sosial, kebiasaan hidup, cara berpikir, prinsip, sudut pandang yang berbeda - beda, memang membuatku menjadi banyak belajar untuk melihat segala sesuatunya dari sudut pandang yang berbeda dan menghargai perbedaan tersebut.
Ayah, Bunda, apa AyBun merasakan hal yang sama juga, bahwa semakin kesini rasanya waktu semakin cepat berlalu? Jangankan enam bulan, rasanya setiap hari berlalu begitu cepat disini. Ketika aku menulis surat ini, musim semi yang dinanti-nantikan akhirnya datang juga setelah melewati musim gugur yang singkat dan musim dingin yang tampak tidak ada habisnya, walaupun sisa angin musim dingin masih berhembus dengan kuatnya sampai saat ini. Term kedua yang terasa baru saja dimulai, sudah akan berakhir dalam beberapa hari ke depan. Memori tentang kota Edinburgh di liburan Natal tahun lalu yang masih sedikit membekas, akan segera tertutup dengan suasana kota Paris di liburan Easter mendatang. Iya, semuanya berlalu begitu cepat, AyBun.
Aku jadi teringat hari terakhir aku di Jakarta sebelum aku pindah kesini. Saat itu ketika aku masih berada di Bandara Seokarno-Hatta, sedang bersiap - siap untuk masuk ke dalam terminal setelah mendengar pengumuman bahwa pesawat menuju London sudah akan berangkat. Saat itu sempat beberapa detik aku merasa bingung dengan apa yang aku lakukan, lalu bertanya pada diriku sendiri, "Apa yang aku lakukan disini? kenapa aku mengucapkan selamat tinggal kepada keluargaku dan teman - teman yang saat ini ada di depanku?". Rasa senang, sedih, deg - degan sudah bercampur aduk di dalam hatiku dari beberapa hari sebelum aku berangkat. Berbagai pertanyaan sudah hinggap semalaman di dalam benakku. Bagaimana kondisi Bournemouth yang sebenarnya? orang - orang seperti apa yang akan kutemui nanti? apakah kehidupan baru nanti akan menyenangkan seperti dibayanganku selama ini?. Aku memang selalu merasa excited ketika akan pergi ke tempat yang belum pernah kulihat secara langsung dan memulai kehidupan baru yang belum pernah kualami sebelumnya. Tetapi kali ini ada yang berbeda dari biasanya. Semuanya terasa "lebih".
Aku masih ingat pada beberapa minggu pertama sejak aku pindah kesini, aku masih dalam tahap melihat segala sesuatunya indah dan terasa menyenangkan. Menikmati suasana kota kecil yang berdekatan dengan laut, duduk bersantai di bangku taman sambil melihat angsa dan burung - burung bermain, tidak perlu merasakan kemacetan atau berdesak - desakan di dalam transportasi publik, atau tekanan - tekanan lainnya yang selama ini aku rasakan di kota besar. Tetapi akhirnya euphoria itu mulai pudar saat memasuki sebulan pertama. Tekanan mulai terasa bukan hanya karena tugas - tugas yang mulai menumpuk, tetapi juga aku semakin sadar bahwa perbedaan lingkungan dan kebiasaan orang - orang disini yang berbeda dari prinsip yang aku pegang selama ini cukup membuat batinku memberontak. Awalnya aku masih sulit untuk menerima bahwa alkohol sudah menjadi seperti air putih, melihat orang - orang mabok yang tidak kenal waktu dan tempat, anak - anak muda yang kerjaannya party hampir setiap hari dan berbagai kebiasaan lainnya.
Perlahan - lahan akhirnya aku sadar bahwa tidak ada gunanya aku memikirkan perbedaan tersebut, justru, aku jadi belajar untuk menerima semua perbedaan itu dengan cara yang berbeda. Aku jadi berpikir bahwa mungkin mereka tidak bisa terlepas dari alkohol sama sepertinya dengan aku yang tidak bisa terlepas dari cokelat, atau menari di sebuah party bagi mereka adalah kegiatan pelepas stres seperti halnya memotret hal - hal yang aku temui ketika aku sedang jalan - jalan, atau juga mabok bagi mereka mungkin adalah salah satu cara untuk berimajinasi ke dunia lain seperti halnya aku berimajinasi ketika membaca buku. Berpikir dengan cara itu membuat aku jadi bisa menghargai semua perbedaan antara aku dengan kebanyakan orang disini, sehingga tidak lagi mengganggu pikiranku selama apa yang mereka lakukan itu tidak merugikan aku.
Oh iya, AyBun, semenjak tinggal disini aku juga baru menyadari bahwa Psikologi adalah salah satu ilmu yang paling berat. Dulu aku sempat ingin memilih jurusan ini karena beberapa hal, mulai dari kesenanganku untuk mendengar cerita dan pengalaman dari orang - orang, ketertarikanku dan rasa penasaranku dengan berbagai perilaku, sifat dan karakteristik berbagai macam orang yang aku kenal dan temui, dan yang terakhir, entah sejak kapan, aku selalu mencoba menganalisa segala sesuatu, lalu mencoba menebaknya dari berbagai kemungkinan.
Dari awal aku menetap disini, aku sudah mendengar cerita dan pengalaman hidup dari berbagai macam orang. Bagi sebagian orang, mungkin mendengar cerita orang lain itu membosankan atau bukan suatu hal yang menyenangkan. Tetapi buatku, itu salah satu cara bagaimana aku bisa melihat kehidupanku yang sempit dan terbatas ini menjadi semakin luas. Seringkali setelah mendengar cerita mereka, aku juga menjadi termotivasi, bersyukur atau kadang malu dengan diriku sendiri. Misalnya saja, aku merasa semakin ingin mengeksplor dunia ketika aku mendengar cerita dari seorang ibu tentang anak perempuannya yang menjelajahi Eropa hanya dengan berbekal tas ransel dan berjalan kaki menyusuri pantai seorang diri (walaupun aku juga jadi mengerti bagaimana perasaan Bunda ketika mendengar bahwa aku sudah beberapa kali melakukan perjalanan sendirian disini hehe). Aku juga merasa semakin bersyukur ketika masih ada keluarga dan sahabat - sahabatku yang membuatku ingin kembali ke Indonesia, ketika mendengar cerita dari beberapa temanku yang mengatakan bahwa mereka tidak ingin kembali ke negara asal mereka karena tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk kembali kesana, dan aku merasa malu dengan diriku sendiri ketika tahu bahwa dulu aku seringkali mengeluh untuk hal - hal sepele, setelah mendengar cerita bahwa banyak orang yang memiliki kehidupan yang jauh lebih berat dari aku.
AyBun, disini aku juga semakin sadar kalau manusia adalah makhluk yang paling sulit untuk dimengerti. Makanya, tadi aku bilang kalau Psikologi itu salah satu ilmu yang paling berat sebagai ilmu yang mempelajari tentang perilaku manusia. Sebenarnya dari dulu aku sudah menyadari ini, tetapi aku masih bersikeras untuk selalu mencoba untuk menebak dan memahaminya saat ada hal - hal yang "di luar dugaan" ketika aku baru mengenal atau memahami lebih jauh tentang orang - orang. Tetapi semenjak disini, akhirnya aku memutuskan untuk tidak banyak berasumsi tentang orang - orang, terutama orang - orang yang baru aku kenal dan tidak terlalu serius dalam menanggapi karakteristik mereka. Aku tidak mengerti, apa karena kebetulan saja orang - orang disekelilingku saat ini terlihat seperti bunglon, tidak tertebak dan hampir selalu berubah dari waktu ke waktu, atau memang pada dasarnya manusia terlihat seperti itu ketika kita tidak benar - benar mengenal mereka lebih dalam? Pada awalnya aku sempat kaget ketika melihat perubahan - perubahan yang ada pada mereka, lalu menerka- nerkanya sampai akhirnya aku sadar bahwa sejak manusia itu banyak macamnya, kayanya kita enggak perlu benar - benar memahami mereka. Aku berkesimpulan bahwa cukup orang - orang terdekat saja yang perlu benar - benar kita pahami, selebihnya, kita cukup mengerti di permukaan saja dan menghargai karakteristik mereka.
AyBun, belakangan ini aku sering terusik dengan sebuah pikiran lama yang kembali datang. Salah satu teman baikku pernah menulis,"Labels. yeah, we live in the world of 'labels'. Narrow minded people". Sadar atau tidak, seringkali orang - orang, dan mungkin termasuk kita salah satu diantara, masih berpikiran sempit. Aku pun harus mengakui bahwa kadang tanpa sadar aku masih seperti itu, "mengecap" orang karena sudah terdoktrinasi oleh sistem dan norma yang berlaku dimana aku lahir dan dibesarkan, atau juga karena sudut pandang orang - orang disekitarku. Makanya, enggak heran jika rasanya sulit untuk mengubah pola pikir yang seringkali sudah erat, apalagi jika melihat sesuatu hal yang bertentangan dengan prinsip yang sudah lama kita pegang.
Sejujurnya, sebelum pindah kesini, aku masih memiliki sedikit pandangan negatif terhadap orang yang tidak memiliki agama. Sulit untuk menjelaskan alasannya. Rasanya langsung ada perasaan enggak enak di hati, sama seperti halnya ketika aku mendengar orang - orang yang akrab dengan alkohol. Mungkin karena aku tumbuh dan dibesarkan dalam keluarga dan lingkungan yang cenderung bertentangan dengan hal - hal tersebut, jadinya sudah otomatis ke-set dalam pikiran aku. Tapi disini, aku akhirnya bisa mengubah cara pandang aku tentang orang yang tidak memiliki agama. (Oh iya, jangan salah paham ya AyBun, apa yang akan aku jelaskan ini enggak ada sangkut pautnya dengan keyakinan aku dalam beragama saat ini, tetapi cuma ingin berbagi sudut pandang saja). Pikiran aku berubah yang tadinya masih berpikir bahwa orang beragama itu lebih baik dari yang tidak beragama, akhirnya sekarang menjadi: orang beragama bisa saja tidak lebih baik dari orang yang tidak beragama.
Disini aku memiliki beberapa teman yang tidak beragama, tetapi justru sudut pandang mereka membuatku yakin bahwa mereka lebih baik dari orang - orang beragama yang kukenal disini. Salah satu temanku yang tidak beragama berkata bahwa ia percaya Tuhan itu ada, tetapi memilih untuk tidak masuk ke agama manapun. Aku tidak bertanya lebih dalam tentang alasannya, tetapi ini mengingatkanku pada percakapanku dengan temanku yang lainnya yang memiliki agama. Waktu itu ia sedang sangat resah dan hampir putus asa dengan suatu masalah yang sedang ia hadapi. Saat itu ia menunggu sebuah jawaban yang menentukan apakah dia berhasil atau tidak. Lalu aku mencoba menenangkannya dan berkata bahwa sebaiknya ia berdoa kepada Tuhan untuk meminta pertolongan supaya mendapatkan jawaban yang baik. Dan dia pun tampak kaget dan membalas dengan raut muka yang seolah - olah meremehkan perkataanku barusan sambil berkata (kira - kira seperti ini), "Memang bisa ya di saat seperti ini kita berharap pada Tuhan?". Hal lain yang membuatku tersadar adalah ketika melihat temanku yang tidak beragama (ini berbeda dari orang yang aku ceritakan sebelumnya) mengatakan bahwa walaupun ia tidak memilih agama apapun, tetapi ia yakin dengan hukum alam bahwa segala sesuatunya pasti kembali lagi ke kita. Makanya, sebagai orang tanpa beragama yang kelihatannya tidak ada peraturan apa - apa dan bebas untuk melakukan apapun, ia memiliki prinsip untuk mencoba untuk terus berbuat baik dan tidak merugikan orang lain. Ia juga memiliki prinsip untuk tidak meminum alkohol karena merasa bahwa itu tidak ada gunanya. Di sisi lain, aku memiliki teman - teman yang berasal dari agama yang berbeda - beda, tetapi mereka mengakui bahwa mereka beragama tapi tidak menghiraukan aturan - aturan yang ada di agama mereka dan hampir tidak pernah beribadah. Sejak saat itu aku tersadar bahwa pikiran aku salah selama ini terhadap mereka yang memilih untuk tidak memiliki agama dan malu setelah menyadari pertanyaan yang aku tujukan ke diriku sendiri, bahwa apa bedanya pola pikir aku yang melihat bahwa orang tidak beragama itu cenderung negatif dengan pola pikir sebagian orang - orang yang juga masih melihat bahwa Islam atau wanita berjilbab itu cenderung dengan teroris?
Hmm, AyBun, karena mungkin topik tentang agama agak sensitif, jadi aku mau coba menceritakan pengalaman pribadi aku soal "label - labelan" ini. Sebenarnya aku udah sering mengingatkan diriku untuk tidak men-judge orang dari apa yang dilihat oleh sistem di lingkunganku atau mengeneralisir apa yang biasanya orang - orang lakukan jika berada di posisi orang itu. Salah satu alasannya adalah karena aku mengerti rasanya dicap tentang sesuatu hal yang tidak benar dengan diri aku sebenarnya, tetapi karena mereka melihat kebanyakan orang lain seperti itu jadinya mereka memandang hal yang sama.
Salah satu temanku dari negara lain pernah berkata kepadaku, "I was so surprised that you don't like drinking alcohol and clubbing, because I thought fashionable people always love those things". Mungkin itu contoh ekstrim, tetapi sebenarnya dari dulu aku juga sudah akrab dengan judgement orang - orang karena hal ini. Banyak orang, entah tidak dekat maupun cukup dekat denganku, melihat bahwa karena aku suka fashion atau menurut mereka aku fashionable, jadilah mereka mencap aku seperti apa yang mereka lihat orang - orang di dunia fashion pada umumnya; glamour, suka senang - senang, boros, kerjaannya belanja mulu, tipikal cewek - cewek manja yang sangat merawat diri, anti kotor, pokonya selalu ingin tampil cantik dan wow. Bahkan, ada juga beberapa yang melihat bahwa salah satu alasan aku kuliah di Inggris adalah supaya aku bisa lebih fashionable atau lebih dekat dengan dunia fashion hahaha. Aku sih cuman tertawa saja, AyBun. Lucu melihat bahwa kebanyakan orang dikendalikan oleh apa yang biasa berlaku di lingkungan kita hidup, membawa mereka untuk berasumsi macam - macam tentang orang lain, dan bahkan lebih buruknya, mengatakan hal tersebut ke orang lain, lalu pada akhirnya ketika mereka tahu kenyataan sebenarnya, mereka cuma terdiam karena malu, bahwa apa yang mereka pikirkan selama ini salah. Dari sini aku juga sadar bahwa kalau kita selalu memikirkan apa yang orang lain pikirkan tentang kita, hidup kita enggak akan pernah bahagia, dan bahwa seringkali salah satu cara yang lebih baik untuk membuat manusia belajar adalah bukan dari kata - kata, tetapi dari perbuatan.
Kalau mau dijelaskan lebih jauh, sebenarnya masih banyaakk lagi kan AyBun hal - hal yang masih seringkali kita generalisir. Mulai dari suku, ras dan kebangsaan yang kalo suku ini cenderung pelit, kalau orang - orang dari bangsa itu biasanya bodoh, cowo - cowo gay atau 'feminin' yang dianggap menyeramkan, terus dulu juga banyak yang melihat bahwa cewe berjilbab itu 'engga okelah, engga bisa gaya, engga modern, dan masih banyak lagi label - label yang udah ter-set di otak kita entah karena mereka bertentangan dengan norma - norma yang ada di kehidupan kita dan agama, atau entah karena kebanyakan orang - orang yang seperti itu memberikan hal negatif, jadinya ketika orang - orang yang sebenarnya baik tetapi melakukan hal itu jadinya juga dilihat negatif. Disinilah aku juga jadi teringat kata - kata yang selalu Bunda ingatkan kepadaku, bahwa dalam hidup yang terpenting adalah kita tidak merugikan orang lain. Jadi lakukan apa yang kita yakini selama itu tidak merugikan orang lain, dan begitu juga ke orang lain, hargai apa yang mereka lakukan selama itu tidak merugikan kita.
Ayah, Bunda, saat ini aku juga semakin yakin akan satu hal, bahwa selama kita hidup jangan pernah menggantungkan kebahagiaan kita ke siapapun dan apapun. Kebanyakan orang lupa bahwa semua yang kita punya saat ini sewaktu - waktu akan hilang, bahwa hidup kita bisa berubah 180 derajat dalam waktu yang singkat. Aku sadar bahwa untuk tetap konsisten mengingatkan diri kita untuk tidak menggantungkan kebahagiaan kita ke orang - orang terdekat yang kita punya, atau materi yang kita miliki itu memang sulit. Bagi aku pun, yang selama ini berusaha untuk tidak bergantung dengan siapapun, termasuk Ayah Bunda sekalipun, kadang tetap sulit rasanya ketika harus menghadapi suatu waktu dimana ketika aku sedang membutuhkan orang untuk berbicara tetapi kenyataan memaksaku untuk memendamnya sendiri. Tidak terbayang ketika melihat orang lain yang selalu membutuhkan orang untuk menemaninya, atau membutuhkan uang untuk melepaskan stresnya. Lalu seandainya sewaktu -waktu orang atau uang tempat mereka bergantung itu hilang, bagaimana cara mereka membahagiakan diri mereka sendiri?
Di satu sisi aku tersadar bahwa enggak heran kalau pekerjaan motivator itu bisa jadi salah satu pekerjaan yang menguntungkan karena banyak orang yang tidak bisa memotivasi diri mereka sendiri untuk merasa bahagia karena mungkin mereka sering menjadikan orang lain dan materi yang mereka miliki sebagai motivasi, sehingga mereka lupa untuk menggantungkannya ke diri mereka sendiri. Jadi ketika mereka terjatuh, mereka sama sekali tidak memiliki pegangan, dan akhirnya lari ke orang - orang yang memang ahli dalam menangani orang - orang seperti mereka. Di sisi lain, aku salut dengan orang - orang yang masih bisa bertahan dengan diri mereka sendiri ketika mereka tidak memiliki siapapun dan apapun untuk membahagiakan mereka. Karena aku sendiri yang pernah mengalami tidak memiliki siapapun dan apapun dalam waktu yang berbeda, kadang aku masih merasa sulit untuk terus berpikir positif dan bahagia.
Mungkin aku memang belum pernah merasakan ketika benar - benar 'ditinggal selamanya' oleh orang - orang terdekat aku atau mengalami musibah dimana semua barang - barang berharga yang aku miliki hilang tanpa jejak. Dan sejujurnya, masih ada perasaan takut jika sewaktu - waktu aku mengalaminya. Karena itu mungkin Tuhan tahu bahwa aku masih memiliki perasaan ini dan akhirnya menguji aku dengan hal serupa tapi dalam kadar yang lebih ringan. Dia pernah memberikan kondisi dimana pertama - tama Dia berikan aku banyak masalah sehingga aku merasa lemah. Lalu, Ia tambah dengan memberi kondisi dimana orang - orang terdekat aku hilang satu per satu sedangkan orang - orang yang ada disini tidak ada yang bisa dihandalkan. Terakhir, Ia tambahkan lagi kadarnya ketika aku sedang mengalami semua itu, aku masih harus tersenyum menyembunyikan masalah yang sedang aku hadapi ketika mendengarkan masalah orang lain dan mencoba menghibur mereka.
Di waktu yang berbeda, Dia menguji keteguhan aku untuk mencapai salah satu mimpi aku yang lain. Pertama - tama Dia sulitkan jalanku untuk mencapainya, lalu Dia berikan pilihan. Ketika aku tetap memilih untuk terus mencapainya, Dia tambahkan lagi kadarnya terus menerus untuk melihat apa aku masih mau berjalan terus untuk mencapainya. Aku enggak mau bohong bahwa aku bisa terus bahagia dalam kondisi seperti itu, AyBun. Kadang aku merasa lelah untuk terus berpikir positif dan mencoba bersyukur dengan apapun ujian yang Tuhan berikan. Pengen mengeluh rasanya. Tetapi akhirnya aku tidak mengikuti kemauan aku untuk mengeluh dan berbalik menjadi berpikiran negatif, karena aku tahu bahwa enggak ada gunanya juga kalau aku seperti itu. Akhirnya dari sini aku terus belajar menikmati anugerah yang Tuhan sudah berikan ke aku, dari hal yang sangat besar hingga sekecil apapun. Darisini aku teringat sosok Ayah yang selalu membuatku kagum ketika dalam menghadapi suatu masalah hampir selalu melihat dari sisi positifnya daripada sisi negatifnya. Aku juga selalu ingat kata - kata Ayah untuk selalu sabar dan bersyukur setiap saat, terutama ketika kita sedang terjatuh, karena dengan memegang dua hal itu, pasti Tuhan akan berikan kemudahan dan hal yang lebih baik lagi ke depannya.
Ayah, Bunda, bukan cuma semakin memahami tentang orang lain dan kehidupan, tetapi sekarang aku juga semakin banyak memahami diri aku. Banyak sifat - sifat yang baru aku sadari, banyak juga yang sudah aku sadari sejak dulu tapi masih belum sepenuhnya merasa yakin. Seperti yang sering Bunda katakan, kita harus terus memahami diri kita sendiri, karena semua yang kita raih dalam hidup ini banyak bergantung pada diri kita.
Lucunya ketika aku semakin memahami diri aku dan menjadi diriku sebenarnya, kadang aku merasa diriku aneh begitu dibandingkan dengan kebanyakan orang disini. Ketika kebanyakan anak - anak seumuranku disini menghabiskan waktu mereka untuk bersosialisasi mendatangi berbagai undangan pre drink atau party di satu klub ke klub lain, aku lebih memilih untuk mengikuti kegiatan volunteer dengan masyarakat disini. Ketika mereka sibuk mencari dan mencoba kafe dan restauran baru setiap minggunya, aku mencari dan mencoba resep makanan baru untuk menu setiap minggu. Ketika mereka masih terbangun tengah malam setelah clubbing, aku masih terbangun karena mengerjakan tugas. Ketika mereka merasa bosan untuk menghabiskan waktu di kamar mereka, aku justru banyak menghabiskan waktu aku di kamar dan menikmatinya. Ketika mereka memandang solo traveling sebagai hal menakutkan, aku justru ketagihan untuk terus melakukannya. Ketika mereka masih tertidur di atas kasur saat matahari terbit, aku sedang mengayuh sepeda menuju flat. Ketika mereka membenci perjalanan yang menghabiskan waktu banyak di jalan, aku justru sangat menyukai perjalanan yang memakan waktu lama di jalan. Ketika mereka suka menari di dance floor sebuah klub, aku merasa lebih nyaman untuk menari di kelas zumba. Dan masih banyak lagi perbedaan - perbedaan antara aku dengan mereka. Disini aku belajar tuntuk tetap menjadi diri aku sendiri. Mungkin bagi orang lain, mereka lebih memilih untuk mengikuti apa yang kebanyakan orang lakukan supaya bisa diterima dan dianggap oleh mereka. Tetapi buat aku, lebih baik aku berbeda tetapi aku tetap menjadi diri aku sendiri dan nyaman dengan apa yang aku lakukan, daripada aku berpura - pura menjadi orang yang bukan diri aku dan enggak merasa nyaman dengan hal yang aku lakukan.
Ayah Bunda, kayanya itu dulu aja yang mau aku ceritakan, secara udah panjang banget apa yang aku tulis hahaha. Semoga AyBun enggak pusing ya bacanya huehee. Dari semua tulisan panjang lebar ini, hal yang paling penting yang mau aku sampaikan ke AyBun adalah aku sangat bersyukur punya orangtua seperti Ayah dan Bunda yang banyak mengajarkan aku tentang hidup, yang selalu mengingatkan aku untuk terus menjadi pribadi yang lebih baik, yang tidak pernah lelah untuk mendukung dan mewujudkan mimpi - mimpi aku. Terlepas dari kehendak Tuhan, tanpa adanya Ayah Bunda pasti sekarang aku enggak disini. Semoga dengan cerita barusan, aku enggak mengecewakan Ayah Bunda ya.
Peluk cium dari jauh,
Nazura
Pasti kaget deh begitu mendapatkan surat ini hehe. Ketika mungkin kebanyakan anak - anak yang lain menceritakan segala sesuatunya kepada orangtua mereka melalui telefon atau skype, aku malah memilih untuk menceritakannya melalui surat ini. Soalnya ada banyak hal yang ingin aku ceritakan dan kayanya lebih enak kalau diceritakan melalui tulisan daripada omongan, apalagi aku enggak pandai untuk menceritakannya secara langsung (walaupun aku tahu, aku juga engga sebagus itu dalam menulis, tetapi kayanya masih lebih baik daripada ketika aku berbicara hehe). Melalui surat ini aku ingin menceritakan berbagai hal yang aku alami selama disini. Karena setelah menjalani enam bulan ini, aku mulai mendapatkan jawaban atas rasa penasaranku, tentang bagaimana orang - orang bisa mengatakan bahwa tinggal di luar sana bisa membuka pikiran dan mata seseorang, juga bagaimana rasanya mencari jati diri mereka. Mungkin aku belum bisa mengatakan ke AyBun bahwa aku sudah berpikiran luas, atau menjadi pribadi yang lebih baik. Karena aku sendiri pun tidak bisa banyak menilai tentang perubahan yang ada di dalam diriku, yang bisa menilai adalah orang - orang yang dari dulu benar - benar mengenal aku. Tapi aku bisa mengatakan bahwa tinggal di negara yang memiliki berbagai macam orang dari latar belakang budaya, sosial, kebiasaan hidup, cara berpikir, prinsip, sudut pandang yang berbeda - beda, memang membuatku menjadi banyak belajar untuk melihat segala sesuatunya dari sudut pandang yang berbeda dan menghargai perbedaan tersebut.
Ayah, Bunda, apa AyBun merasakan hal yang sama juga, bahwa semakin kesini rasanya waktu semakin cepat berlalu? Jangankan enam bulan, rasanya setiap hari berlalu begitu cepat disini. Ketika aku menulis surat ini, musim semi yang dinanti-nantikan akhirnya datang juga setelah melewati musim gugur yang singkat dan musim dingin yang tampak tidak ada habisnya, walaupun sisa angin musim dingin masih berhembus dengan kuatnya sampai saat ini. Term kedua yang terasa baru saja dimulai, sudah akan berakhir dalam beberapa hari ke depan. Memori tentang kota Edinburgh di liburan Natal tahun lalu yang masih sedikit membekas, akan segera tertutup dengan suasana kota Paris di liburan Easter mendatang. Iya, semuanya berlalu begitu cepat, AyBun.
Aku jadi teringat hari terakhir aku di Jakarta sebelum aku pindah kesini. Saat itu ketika aku masih berada di Bandara Seokarno-Hatta, sedang bersiap - siap untuk masuk ke dalam terminal setelah mendengar pengumuman bahwa pesawat menuju London sudah akan berangkat. Saat itu sempat beberapa detik aku merasa bingung dengan apa yang aku lakukan, lalu bertanya pada diriku sendiri, "Apa yang aku lakukan disini? kenapa aku mengucapkan selamat tinggal kepada keluargaku dan teman - teman yang saat ini ada di depanku?". Rasa senang, sedih, deg - degan sudah bercampur aduk di dalam hatiku dari beberapa hari sebelum aku berangkat. Berbagai pertanyaan sudah hinggap semalaman di dalam benakku. Bagaimana kondisi Bournemouth yang sebenarnya? orang - orang seperti apa yang akan kutemui nanti? apakah kehidupan baru nanti akan menyenangkan seperti dibayanganku selama ini?. Aku memang selalu merasa excited ketika akan pergi ke tempat yang belum pernah kulihat secara langsung dan memulai kehidupan baru yang belum pernah kualami sebelumnya. Tetapi kali ini ada yang berbeda dari biasanya. Semuanya terasa "lebih".
Aku masih ingat pada beberapa minggu pertama sejak aku pindah kesini, aku masih dalam tahap melihat segala sesuatunya indah dan terasa menyenangkan. Menikmati suasana kota kecil yang berdekatan dengan laut, duduk bersantai di bangku taman sambil melihat angsa dan burung - burung bermain, tidak perlu merasakan kemacetan atau berdesak - desakan di dalam transportasi publik, atau tekanan - tekanan lainnya yang selama ini aku rasakan di kota besar. Tetapi akhirnya euphoria itu mulai pudar saat memasuki sebulan pertama. Tekanan mulai terasa bukan hanya karena tugas - tugas yang mulai menumpuk, tetapi juga aku semakin sadar bahwa perbedaan lingkungan dan kebiasaan orang - orang disini yang berbeda dari prinsip yang aku pegang selama ini cukup membuat batinku memberontak. Awalnya aku masih sulit untuk menerima bahwa alkohol sudah menjadi seperti air putih, melihat orang - orang mabok yang tidak kenal waktu dan tempat, anak - anak muda yang kerjaannya party hampir setiap hari dan berbagai kebiasaan lainnya.
Perlahan - lahan akhirnya aku sadar bahwa tidak ada gunanya aku memikirkan perbedaan tersebut, justru, aku jadi belajar untuk menerima semua perbedaan itu dengan cara yang berbeda. Aku jadi berpikir bahwa mungkin mereka tidak bisa terlepas dari alkohol sama sepertinya dengan aku yang tidak bisa terlepas dari cokelat, atau menari di sebuah party bagi mereka adalah kegiatan pelepas stres seperti halnya memotret hal - hal yang aku temui ketika aku sedang jalan - jalan, atau juga mabok bagi mereka mungkin adalah salah satu cara untuk berimajinasi ke dunia lain seperti halnya aku berimajinasi ketika membaca buku. Berpikir dengan cara itu membuat aku jadi bisa menghargai semua perbedaan antara aku dengan kebanyakan orang disini, sehingga tidak lagi mengganggu pikiranku selama apa yang mereka lakukan itu tidak merugikan aku.
Oh iya, AyBun, semenjak tinggal disini aku juga baru menyadari bahwa Psikologi adalah salah satu ilmu yang paling berat. Dulu aku sempat ingin memilih jurusan ini karena beberapa hal, mulai dari kesenanganku untuk mendengar cerita dan pengalaman dari orang - orang, ketertarikanku dan rasa penasaranku dengan berbagai perilaku, sifat dan karakteristik berbagai macam orang yang aku kenal dan temui, dan yang terakhir, entah sejak kapan, aku selalu mencoba menganalisa segala sesuatu, lalu mencoba menebaknya dari berbagai kemungkinan.
Dari awal aku menetap disini, aku sudah mendengar cerita dan pengalaman hidup dari berbagai macam orang. Bagi sebagian orang, mungkin mendengar cerita orang lain itu membosankan atau bukan suatu hal yang menyenangkan. Tetapi buatku, itu salah satu cara bagaimana aku bisa melihat kehidupanku yang sempit dan terbatas ini menjadi semakin luas. Seringkali setelah mendengar cerita mereka, aku juga menjadi termotivasi, bersyukur atau kadang malu dengan diriku sendiri. Misalnya saja, aku merasa semakin ingin mengeksplor dunia ketika aku mendengar cerita dari seorang ibu tentang anak perempuannya yang menjelajahi Eropa hanya dengan berbekal tas ransel dan berjalan kaki menyusuri pantai seorang diri (walaupun aku juga jadi mengerti bagaimana perasaan Bunda ketika mendengar bahwa aku sudah beberapa kali melakukan perjalanan sendirian disini hehe). Aku juga merasa semakin bersyukur ketika masih ada keluarga dan sahabat - sahabatku yang membuatku ingin kembali ke Indonesia, ketika mendengar cerita dari beberapa temanku yang mengatakan bahwa mereka tidak ingin kembali ke negara asal mereka karena tidak ada alasan lagi bagi mereka untuk kembali kesana, dan aku merasa malu dengan diriku sendiri ketika tahu bahwa dulu aku seringkali mengeluh untuk hal - hal sepele, setelah mendengar cerita bahwa banyak orang yang memiliki kehidupan yang jauh lebih berat dari aku.
AyBun, disini aku juga semakin sadar kalau manusia adalah makhluk yang paling sulit untuk dimengerti. Makanya, tadi aku bilang kalau Psikologi itu salah satu ilmu yang paling berat sebagai ilmu yang mempelajari tentang perilaku manusia. Sebenarnya dari dulu aku sudah menyadari ini, tetapi aku masih bersikeras untuk selalu mencoba untuk menebak dan memahaminya saat ada hal - hal yang "di luar dugaan" ketika aku baru mengenal atau memahami lebih jauh tentang orang - orang. Tetapi semenjak disini, akhirnya aku memutuskan untuk tidak banyak berasumsi tentang orang - orang, terutama orang - orang yang baru aku kenal dan tidak terlalu serius dalam menanggapi karakteristik mereka. Aku tidak mengerti, apa karena kebetulan saja orang - orang disekelilingku saat ini terlihat seperti bunglon, tidak tertebak dan hampir selalu berubah dari waktu ke waktu, atau memang pada dasarnya manusia terlihat seperti itu ketika kita tidak benar - benar mengenal mereka lebih dalam? Pada awalnya aku sempat kaget ketika melihat perubahan - perubahan yang ada pada mereka, lalu menerka- nerkanya sampai akhirnya aku sadar bahwa sejak manusia itu banyak macamnya, kayanya kita enggak perlu benar - benar memahami mereka. Aku berkesimpulan bahwa cukup orang - orang terdekat saja yang perlu benar - benar kita pahami, selebihnya, kita cukup mengerti di permukaan saja dan menghargai karakteristik mereka.
AyBun, belakangan ini aku sering terusik dengan sebuah pikiran lama yang kembali datang. Salah satu teman baikku pernah menulis,"Labels. yeah, we live in the world of 'labels'. Narrow minded people". Sadar atau tidak, seringkali orang - orang, dan mungkin termasuk kita salah satu diantara, masih berpikiran sempit. Aku pun harus mengakui bahwa kadang tanpa sadar aku masih seperti itu, "mengecap" orang karena sudah terdoktrinasi oleh sistem dan norma yang berlaku dimana aku lahir dan dibesarkan, atau juga karena sudut pandang orang - orang disekitarku. Makanya, enggak heran jika rasanya sulit untuk mengubah pola pikir yang seringkali sudah erat, apalagi jika melihat sesuatu hal yang bertentangan dengan prinsip yang sudah lama kita pegang.
Sejujurnya, sebelum pindah kesini, aku masih memiliki sedikit pandangan negatif terhadap orang yang tidak memiliki agama. Sulit untuk menjelaskan alasannya. Rasanya langsung ada perasaan enggak enak di hati, sama seperti halnya ketika aku mendengar orang - orang yang akrab dengan alkohol. Mungkin karena aku tumbuh dan dibesarkan dalam keluarga dan lingkungan yang cenderung bertentangan dengan hal - hal tersebut, jadinya sudah otomatis ke-set dalam pikiran aku. Tapi disini, aku akhirnya bisa mengubah cara pandang aku tentang orang yang tidak memiliki agama. (Oh iya, jangan salah paham ya AyBun, apa yang akan aku jelaskan ini enggak ada sangkut pautnya dengan keyakinan aku dalam beragama saat ini, tetapi cuma ingin berbagi sudut pandang saja). Pikiran aku berubah yang tadinya masih berpikir bahwa orang beragama itu lebih baik dari yang tidak beragama, akhirnya sekarang menjadi: orang beragama bisa saja tidak lebih baik dari orang yang tidak beragama.
Disini aku memiliki beberapa teman yang tidak beragama, tetapi justru sudut pandang mereka membuatku yakin bahwa mereka lebih baik dari orang - orang beragama yang kukenal disini. Salah satu temanku yang tidak beragama berkata bahwa ia percaya Tuhan itu ada, tetapi memilih untuk tidak masuk ke agama manapun. Aku tidak bertanya lebih dalam tentang alasannya, tetapi ini mengingatkanku pada percakapanku dengan temanku yang lainnya yang memiliki agama. Waktu itu ia sedang sangat resah dan hampir putus asa dengan suatu masalah yang sedang ia hadapi. Saat itu ia menunggu sebuah jawaban yang menentukan apakah dia berhasil atau tidak. Lalu aku mencoba menenangkannya dan berkata bahwa sebaiknya ia berdoa kepada Tuhan untuk meminta pertolongan supaya mendapatkan jawaban yang baik. Dan dia pun tampak kaget dan membalas dengan raut muka yang seolah - olah meremehkan perkataanku barusan sambil berkata (kira - kira seperti ini), "Memang bisa ya di saat seperti ini kita berharap pada Tuhan?". Hal lain yang membuatku tersadar adalah ketika melihat temanku yang tidak beragama (ini berbeda dari orang yang aku ceritakan sebelumnya) mengatakan bahwa walaupun ia tidak memilih agama apapun, tetapi ia yakin dengan hukum alam bahwa segala sesuatunya pasti kembali lagi ke kita. Makanya, sebagai orang tanpa beragama yang kelihatannya tidak ada peraturan apa - apa dan bebas untuk melakukan apapun, ia memiliki prinsip untuk mencoba untuk terus berbuat baik dan tidak merugikan orang lain. Ia juga memiliki prinsip untuk tidak meminum alkohol karena merasa bahwa itu tidak ada gunanya. Di sisi lain, aku memiliki teman - teman yang berasal dari agama yang berbeda - beda, tetapi mereka mengakui bahwa mereka beragama tapi tidak menghiraukan aturan - aturan yang ada di agama mereka dan hampir tidak pernah beribadah. Sejak saat itu aku tersadar bahwa pikiran aku salah selama ini terhadap mereka yang memilih untuk tidak memiliki agama dan malu setelah menyadari pertanyaan yang aku tujukan ke diriku sendiri, bahwa apa bedanya pola pikir aku yang melihat bahwa orang tidak beragama itu cenderung negatif dengan pola pikir sebagian orang - orang yang juga masih melihat bahwa Islam atau wanita berjilbab itu cenderung dengan teroris?
Hmm, AyBun, karena mungkin topik tentang agama agak sensitif, jadi aku mau coba menceritakan pengalaman pribadi aku soal "label - labelan" ini. Sebenarnya aku udah sering mengingatkan diriku untuk tidak men-judge orang dari apa yang dilihat oleh sistem di lingkunganku atau mengeneralisir apa yang biasanya orang - orang lakukan jika berada di posisi orang itu. Salah satu alasannya adalah karena aku mengerti rasanya dicap tentang sesuatu hal yang tidak benar dengan diri aku sebenarnya, tetapi karena mereka melihat kebanyakan orang lain seperti itu jadinya mereka memandang hal yang sama.
Salah satu temanku dari negara lain pernah berkata kepadaku, "I was so surprised that you don't like drinking alcohol and clubbing, because I thought fashionable people always love those things". Mungkin itu contoh ekstrim, tetapi sebenarnya dari dulu aku juga sudah akrab dengan judgement orang - orang karena hal ini. Banyak orang, entah tidak dekat maupun cukup dekat denganku, melihat bahwa karena aku suka fashion atau menurut mereka aku fashionable, jadilah mereka mencap aku seperti apa yang mereka lihat orang - orang di dunia fashion pada umumnya; glamour, suka senang - senang, boros, kerjaannya belanja mulu, tipikal cewek - cewek manja yang sangat merawat diri, anti kotor, pokonya selalu ingin tampil cantik dan wow. Bahkan, ada juga beberapa yang melihat bahwa salah satu alasan aku kuliah di Inggris adalah supaya aku bisa lebih fashionable atau lebih dekat dengan dunia fashion hahaha. Aku sih cuman tertawa saja, AyBun. Lucu melihat bahwa kebanyakan orang dikendalikan oleh apa yang biasa berlaku di lingkungan kita hidup, membawa mereka untuk berasumsi macam - macam tentang orang lain, dan bahkan lebih buruknya, mengatakan hal tersebut ke orang lain, lalu pada akhirnya ketika mereka tahu kenyataan sebenarnya, mereka cuma terdiam karena malu, bahwa apa yang mereka pikirkan selama ini salah. Dari sini aku juga sadar bahwa kalau kita selalu memikirkan apa yang orang lain pikirkan tentang kita, hidup kita enggak akan pernah bahagia, dan bahwa seringkali salah satu cara yang lebih baik untuk membuat manusia belajar adalah bukan dari kata - kata, tetapi dari perbuatan.
Kalau mau dijelaskan lebih jauh, sebenarnya masih banyaakk lagi kan AyBun hal - hal yang masih seringkali kita generalisir. Mulai dari suku, ras dan kebangsaan yang kalo suku ini cenderung pelit, kalau orang - orang dari bangsa itu biasanya bodoh, cowo - cowo gay atau 'feminin' yang dianggap menyeramkan, terus dulu juga banyak yang melihat bahwa cewe berjilbab itu 'engga okelah, engga bisa gaya, engga modern, dan masih banyak lagi label - label yang udah ter-set di otak kita entah karena mereka bertentangan dengan norma - norma yang ada di kehidupan kita dan agama, atau entah karena kebanyakan orang - orang yang seperti itu memberikan hal negatif, jadinya ketika orang - orang yang sebenarnya baik tetapi melakukan hal itu jadinya juga dilihat negatif. Disinilah aku juga jadi teringat kata - kata yang selalu Bunda ingatkan kepadaku, bahwa dalam hidup yang terpenting adalah kita tidak merugikan orang lain. Jadi lakukan apa yang kita yakini selama itu tidak merugikan orang lain, dan begitu juga ke orang lain, hargai apa yang mereka lakukan selama itu tidak merugikan kita.
Ayah, Bunda, saat ini aku juga semakin yakin akan satu hal, bahwa selama kita hidup jangan pernah menggantungkan kebahagiaan kita ke siapapun dan apapun. Kebanyakan orang lupa bahwa semua yang kita punya saat ini sewaktu - waktu akan hilang, bahwa hidup kita bisa berubah 180 derajat dalam waktu yang singkat. Aku sadar bahwa untuk tetap konsisten mengingatkan diri kita untuk tidak menggantungkan kebahagiaan kita ke orang - orang terdekat yang kita punya, atau materi yang kita miliki itu memang sulit. Bagi aku pun, yang selama ini berusaha untuk tidak bergantung dengan siapapun, termasuk Ayah Bunda sekalipun, kadang tetap sulit rasanya ketika harus menghadapi suatu waktu dimana ketika aku sedang membutuhkan orang untuk berbicara tetapi kenyataan memaksaku untuk memendamnya sendiri. Tidak terbayang ketika melihat orang lain yang selalu membutuhkan orang untuk menemaninya, atau membutuhkan uang untuk melepaskan stresnya. Lalu seandainya sewaktu -waktu orang atau uang tempat mereka bergantung itu hilang, bagaimana cara mereka membahagiakan diri mereka sendiri?
Di satu sisi aku tersadar bahwa enggak heran kalau pekerjaan motivator itu bisa jadi salah satu pekerjaan yang menguntungkan karena banyak orang yang tidak bisa memotivasi diri mereka sendiri untuk merasa bahagia karena mungkin mereka sering menjadikan orang lain dan materi yang mereka miliki sebagai motivasi, sehingga mereka lupa untuk menggantungkannya ke diri mereka sendiri. Jadi ketika mereka terjatuh, mereka sama sekali tidak memiliki pegangan, dan akhirnya lari ke orang - orang yang memang ahli dalam menangani orang - orang seperti mereka. Di sisi lain, aku salut dengan orang - orang yang masih bisa bertahan dengan diri mereka sendiri ketika mereka tidak memiliki siapapun dan apapun untuk membahagiakan mereka. Karena aku sendiri yang pernah mengalami tidak memiliki siapapun dan apapun dalam waktu yang berbeda, kadang aku masih merasa sulit untuk terus berpikir positif dan bahagia.
Mungkin aku memang belum pernah merasakan ketika benar - benar 'ditinggal selamanya' oleh orang - orang terdekat aku atau mengalami musibah dimana semua barang - barang berharga yang aku miliki hilang tanpa jejak. Dan sejujurnya, masih ada perasaan takut jika sewaktu - waktu aku mengalaminya. Karena itu mungkin Tuhan tahu bahwa aku masih memiliki perasaan ini dan akhirnya menguji aku dengan hal serupa tapi dalam kadar yang lebih ringan. Dia pernah memberikan kondisi dimana pertama - tama Dia berikan aku banyak masalah sehingga aku merasa lemah. Lalu, Ia tambah dengan memberi kondisi dimana orang - orang terdekat aku hilang satu per satu sedangkan orang - orang yang ada disini tidak ada yang bisa dihandalkan. Terakhir, Ia tambahkan lagi kadarnya ketika aku sedang mengalami semua itu, aku masih harus tersenyum menyembunyikan masalah yang sedang aku hadapi ketika mendengarkan masalah orang lain dan mencoba menghibur mereka.
Di waktu yang berbeda, Dia menguji keteguhan aku untuk mencapai salah satu mimpi aku yang lain. Pertama - tama Dia sulitkan jalanku untuk mencapainya, lalu Dia berikan pilihan. Ketika aku tetap memilih untuk terus mencapainya, Dia tambahkan lagi kadarnya terus menerus untuk melihat apa aku masih mau berjalan terus untuk mencapainya. Aku enggak mau bohong bahwa aku bisa terus bahagia dalam kondisi seperti itu, AyBun. Kadang aku merasa lelah untuk terus berpikir positif dan mencoba bersyukur dengan apapun ujian yang Tuhan berikan. Pengen mengeluh rasanya. Tetapi akhirnya aku tidak mengikuti kemauan aku untuk mengeluh dan berbalik menjadi berpikiran negatif, karena aku tahu bahwa enggak ada gunanya juga kalau aku seperti itu. Akhirnya dari sini aku terus belajar menikmati anugerah yang Tuhan sudah berikan ke aku, dari hal yang sangat besar hingga sekecil apapun. Darisini aku teringat sosok Ayah yang selalu membuatku kagum ketika dalam menghadapi suatu masalah hampir selalu melihat dari sisi positifnya daripada sisi negatifnya. Aku juga selalu ingat kata - kata Ayah untuk selalu sabar dan bersyukur setiap saat, terutama ketika kita sedang terjatuh, karena dengan memegang dua hal itu, pasti Tuhan akan berikan kemudahan dan hal yang lebih baik lagi ke depannya.
Ayah, Bunda, bukan cuma semakin memahami tentang orang lain dan kehidupan, tetapi sekarang aku juga semakin banyak memahami diri aku. Banyak sifat - sifat yang baru aku sadari, banyak juga yang sudah aku sadari sejak dulu tapi masih belum sepenuhnya merasa yakin. Seperti yang sering Bunda katakan, kita harus terus memahami diri kita sendiri, karena semua yang kita raih dalam hidup ini banyak bergantung pada diri kita.
Lucunya ketika aku semakin memahami diri aku dan menjadi diriku sebenarnya, kadang aku merasa diriku aneh begitu dibandingkan dengan kebanyakan orang disini. Ketika kebanyakan anak - anak seumuranku disini menghabiskan waktu mereka untuk bersosialisasi mendatangi berbagai undangan pre drink atau party di satu klub ke klub lain, aku lebih memilih untuk mengikuti kegiatan volunteer dengan masyarakat disini. Ketika mereka sibuk mencari dan mencoba kafe dan restauran baru setiap minggunya, aku mencari dan mencoba resep makanan baru untuk menu setiap minggu. Ketika mereka masih terbangun tengah malam setelah clubbing, aku masih terbangun karena mengerjakan tugas. Ketika mereka merasa bosan untuk menghabiskan waktu di kamar mereka, aku justru banyak menghabiskan waktu aku di kamar dan menikmatinya. Ketika mereka memandang solo traveling sebagai hal menakutkan, aku justru ketagihan untuk terus melakukannya. Ketika mereka masih tertidur di atas kasur saat matahari terbit, aku sedang mengayuh sepeda menuju flat. Ketika mereka membenci perjalanan yang menghabiskan waktu banyak di jalan, aku justru sangat menyukai perjalanan yang memakan waktu lama di jalan. Ketika mereka suka menari di dance floor sebuah klub, aku merasa lebih nyaman untuk menari di kelas zumba. Dan masih banyak lagi perbedaan - perbedaan antara aku dengan mereka. Disini aku belajar tuntuk tetap menjadi diri aku sendiri. Mungkin bagi orang lain, mereka lebih memilih untuk mengikuti apa yang kebanyakan orang lakukan supaya bisa diterima dan dianggap oleh mereka. Tetapi buat aku, lebih baik aku berbeda tetapi aku tetap menjadi diri aku sendiri dan nyaman dengan apa yang aku lakukan, daripada aku berpura - pura menjadi orang yang bukan diri aku dan enggak merasa nyaman dengan hal yang aku lakukan.
Ayah Bunda, kayanya itu dulu aja yang mau aku ceritakan, secara udah panjang banget apa yang aku tulis hahaha. Semoga AyBun enggak pusing ya bacanya huehee. Dari semua tulisan panjang lebar ini, hal yang paling penting yang mau aku sampaikan ke AyBun adalah aku sangat bersyukur punya orangtua seperti Ayah dan Bunda yang banyak mengajarkan aku tentang hidup, yang selalu mengingatkan aku untuk terus menjadi pribadi yang lebih baik, yang tidak pernah lelah untuk mendukung dan mewujudkan mimpi - mimpi aku. Terlepas dari kehendak Tuhan, tanpa adanya Ayah Bunda pasti sekarang aku enggak disini. Semoga dengan cerita barusan, aku enggak mengecewakan Ayah Bunda ya.
Peluk cium dari jauh,
Nazura
Very touchy letter.. Pertahankan mental seperti itu sister.. :-) regards, lyla.
ReplyDeletemakasii yaa lyla. insya Allah bisa terus kaya gitu :)
ReplyDelete