"Grown-ups love figures. When you tell them you've made a new friend they never ask you any questions about essential matters. They never say to you "What does his voice sound like? What games does he love best? Does he collect butterflies? " Instead they demand "How old is he? How much does he weigh? How much money does his father make? " Only from these figures do they think they have learned anything about him.” - Antoine de Saint-ExupĂ©ry, The Little Prince
Ini adalah salah satu hal yang paling saya ingat ketika membaca buku The Little Prince. Dari awal saya membaca buku ini dan menemukan kata - kata tersebut membuat saya terdorong untuk menulis pemikiran saya tentang arti sebuah angka. Namun saya selalu menundanya sampai akhirnya belakangan ini ada dua hal baru yang menyadarkan saya kembali akan representasi dari sebuah angka, yang membuat saya semakin yakin bahwa segala sesuatu enggak (selalu) bisa dinilai dari angka. Dua hal tersebut adalah kamera dan traveling.
Saya dari dulu memang bukan tipe orang yang terlalu percaya dengan representasi yang diberikan oleh sebuah angka. Saya lebih percaya dengan apa yang sebenarnya enggak bisa diperlihatkan oleh angka, seperti kualitas sebenarnya atau proses yang ada di balik sebuah hal. Makanya, seringkali saya enggak terlalu takjub dengan seseorang yang memiliki teman hingga beribu-beribu di facebook atau followers di twitter, instagram atau media sosial lainnya, karena banyaknya angka yang terpampang disitu tidak selalu menunjukkan bahwa banyak orang yang ada untuk-nya atau dalam kata lain "teman sebenarnya". Saya enggak yakin bahwa nilai di sekolah selalu merepresentasikan kecerdasan seseorang, karena wawasan dan ilmu seseorang bukan hanya didapatkan di sekolah, tetapi dari banyak sumber yang sebenarnya berada di luar sekolah. Saya enggak percaya bahwa tingkat kedewasaan seseorang diukur dari usia, karena seberapa dewasa seseorang tergantung dari banyak faktor, bukan dari bertambahnya umur. Saya enggak percaya bahwa semakin kaya (harta) membuat seseorang semakin bahagia, karena terkadang atau seringkali, kesederhanaan justru lebih membuat seseorang bahagia. Saya juga enggak menganggap bahwa bagus tidaknya sebuah penampilan seseorang dilihat dari mahal tidaknya barang yang dia pakai, tetapi dari bagaimana seseorang memadupadankannya menjadi terlihat menarik. Saya yakin bahwa kualitas hubungan seseorang enggak selalu dilihat dari berapa lama hubungan yang terjalin, tetapi dari banyak faktor yang tidak bisa dilihat dari angka lama hubungan tersebut berlangsung. Dan masih banyak hal - hal lainnya yang membuat saya semakin sadar bahwa angka hanyalah sebuah tanda pengganti bilangan.
Dulu banget, saya selalu merasa terkagum-kagum dengan orang yang membawa kamera DSLR dengan lensa yang segede gaban, apalagi kalau udah ditemani dengan satu set lengkap peralatan kamera lainnya. Rasanya mau bilang wow gimana gitu hahaha *maklum anak kampung*. Tetapi, seiring berjalannya waktu, saya sadar bahwa "don't judge a book by its cover" itu memang benar adanya dan berlaku juga buat hal ini, yaitu, "don't judge people by what camera they use". Kenapa? karena setelah saya perhatikan lagi, banyak pemakai kamera DSLR yang ternyata hasilnya *ehm* enggak lebih baik dari hasil foto kamera poket. Ini bukannya sok iyeh apa gimana ya, cuma kelihatan aja dari hasil fotonya yang entah blur, komposisinya enggak pas, pencahayaannya enggak diatur, atau hal - hal basic lainnya yang saya sebagai orang awam saja bisa melihat bahwa hasil foto tersebut harusnya bukan dari hasil foto sebuah kamera DSLR. Dan akhirnya, sejak bertahun - tahun yang lalu hingga sekarang, saya semakin sadar bahwa DSLR itu bagi beberapa kelompok orang justru dijadikan sebagai salah satu fashion atau social item, alat untuk terlihat semakin kece buat dijadiin profile picture dan yang terakhir karena berpikir bahwa hasil foto yang didapat dari DSLR akan SELALU lebih baik daripada kamera biasa (pocket/compact digital camera). Yaa kalau buat dua poin pertama, itu suka - suka orang lah yaa, namanya juga manusia kan bermacam - macam adanya, jadi saya no comment. Tapi buat yang terakhir, ini yang membuat saya akhirnya enggak bisa menahan lagi pikiran yang udah lama tersimpan di benak saya selama ini *azek banget ga sih*.
Banyak orang bertanya kepada saya tentang kamera apa yang saya gunakan selama ini. Beberapa diantara mereka menebak bahwa saya menggunakan kamera mahal dan biasanya identik dengan DSLR. Enggak salah sih, karena kebanyakan foto selama saya di Indonesia dan sebelum saya pindah kesini, memang sebagian besar foto tersebut hampir selalu menggunakan DSLR. Tetapi semenjak saya pindah kesini saya hanya membawa kamera poket saya. Alasannya simpel saja karena saya tau bahwa saya akan traveling sendirian dan akan repot serta tidak terlalu aman jika saya membawa kamera DSLR. Ditambah dengan masih sedikit trauma karena pernah kehilangan salah satu kamera DSLR sebelumnya akibat kecerobohan saya sendiri, jadinya saya memutuskan untuk hanya membawa kamera poket. Jujur, awalnya saya agak ragu dan tertarik untuk membawa DSLR juga. Di pikiran saya saat itu karena sudah terbiasa menggunakan DSLR, saya jadi ragu apakah saya bisa mendapatkan hasil dan kualitas foto yang sama baiknya jika saya menggunakan kamera poket. Tetapi akhirnya saya teringat dengan pikiran saya yang lain bahwa bagus engga nya sebuah foto itu bukan sepenuhnya tergantung dari jenis, brand atau mahal engga nya sebuah kamera, tetapi juga tergantung kepada si pemakainya. Bahkan saya bisa bilang kalau justru pemakainya itu lah yang lebih banyak berkontribusi terhadap bagus engganya sebuah hasil daripada si kamera itu sendiri. Dan ternyata sejauh ini saya merasa nyaman - nyaman aja tuh dengan kamera poket saya, bahkan untuk beberapa hal saya merasa lebih suka menggunakan kamera ini ketimbang DSLR. Seperti saat traveling atau saat dimana saya ingin menangkap momen tertentu yang harus gesit. Nah terkadang kalau memakai DSLR justru saya kehilangan momen tersebut karena blur atau karena saya belum segitu cepatnya mengatur setting-annya. Tetapi dengan kamera poket ini justru saya sering mendapatkan momen tersebut.
Oh iya, ini bukan berarti kamera DSLR itu engga ada keistimewaannya dibandingkan poket yaa. Saya tetap setuju bahwa DSLR memang lebih bagus di beberapa aspek, dan bagi saya, untuk foto - foto tertentu seperti photo shoot memang lebih enak memakai DSLR daripada poket. Dan sebenarnya balik lagi ke si pemakai dan tujuan si pemakai kamera. Kalau memang kebutuhannya adalah untuk fotografi dan skill ya mungkin lebih baik menggunakan DSLR, tetapi kalau hanya untuk sekedar "jeprat-jepret", ya lebih baik menggunakan poket.
Hal kedua yang baru saya sadari belakangan ini, terutama semenjak saya suka melakukan solo travel adalah angka tentang sebuah perjalanan atau traveling. Sebagai salah satu pencinta traveling, dulu saya juga termasuk orang yang selalu amaze ketika mendengar orang - orang yang sudah melakukan perjalanan ke berpuluh - puluh negara. Dan bagi saya saat itu, tujuan saya adalah traveling sebanyak banyaknya ke berbagai tempat di berbagai belahan bumi. Bukan mencari makna dan pengalaman dari traveling itu sendiri. Saya yakin, masih banyak juga orang yang berpikiran seperti ini, yang mana tujuan dari melakukan traveling itu sendiri adalah untuk memenuhi kepuasan "yang penting udah pernah melihat, menginjak, merasakan, memfoto dan menandai". Tetapi akhirnya sekarang saya sadar bahwa banyaknya perjalanan yang sudah dilakukan seseorang itu enggak selalu menunjukkan banyaknya pengalaman, pembelajaran, cerita dan ingatan tentang perjalanan itu sendiri. Baru - baru ini, untuk pertama kalinya saya mencoba traveling menggunakan tur. Memang, selama seminggu saya bisa mengunjungi lebih dari 5 kota di suatu negara. Sedangkan di sisi lain, dengan jumlah hari yang sama, saya pernah melakukan solo travel ke suatu negara dan hanya satu kota. Tetapi justru ingatan, pembelajaran dan kenangan pada perjalanan saya ketika solo travel ke satu kota itu lebih memberikan kepuasan bagi saya daripada perjalanan menggunakan tur dimana saya melihat dan mengunjungi banyak tempat. Dari sini akhirnya saya sadar bahwa angka banyaknya sebuah perjalanan tidak lagi penting bagi saya. Sekarang saya justru iri dengan orang - orang yang mendapatkan banyak pengalaman, cerita dan pembelajaran dari sebuah perjalanan daripada orang - orang yang sudah mengunjungi berbagai tempat, tetapi begitu ditanya coba ceritakan apa aja yang dia dapatkan dan kenangan yang didapat, balasannya hanya "oh iya harus banget kesana karena tempatnya bagus, makanannya enak, pokonya wajib kesana deh. Jangan lupa ya foto di depan ini (tempat yang dikunjungi sejuta turis), ini (tempat lain yang dikunjungi sejuta turis) dan ini (tempat lain yang dikunjungi sejuta turis)".
Maaf kalau ada yang merasa tersinggung dengan pemikiran saya ini. Enggak ada maksud apa - apa kok, cuma ingin mengungkapkan salah satu pemikiran yang saya dapatkan aja, kalau terkadang angka itu hanyalah sebuah simbol dari bilangan, tidak menunjukkan arti atau kualitas dibalik sebuah hal :)
Ini adalah salah satu hal yang paling saya ingat ketika membaca buku The Little Prince. Dari awal saya membaca buku ini dan menemukan kata - kata tersebut membuat saya terdorong untuk menulis pemikiran saya tentang arti sebuah angka. Namun saya selalu menundanya sampai akhirnya belakangan ini ada dua hal baru yang menyadarkan saya kembali akan representasi dari sebuah angka, yang membuat saya semakin yakin bahwa segala sesuatu enggak (selalu) bisa dinilai dari angka. Dua hal tersebut adalah kamera dan traveling.
Saya dari dulu memang bukan tipe orang yang terlalu percaya dengan representasi yang diberikan oleh sebuah angka. Saya lebih percaya dengan apa yang sebenarnya enggak bisa diperlihatkan oleh angka, seperti kualitas sebenarnya atau proses yang ada di balik sebuah hal. Makanya, seringkali saya enggak terlalu takjub dengan seseorang yang memiliki teman hingga beribu-beribu di facebook atau followers di twitter, instagram atau media sosial lainnya, karena banyaknya angka yang terpampang disitu tidak selalu menunjukkan bahwa banyak orang yang ada untuk-nya atau dalam kata lain "teman sebenarnya". Saya enggak yakin bahwa nilai di sekolah selalu merepresentasikan kecerdasan seseorang, karena wawasan dan ilmu seseorang bukan hanya didapatkan di sekolah, tetapi dari banyak sumber yang sebenarnya berada di luar sekolah. Saya enggak percaya bahwa tingkat kedewasaan seseorang diukur dari usia, karena seberapa dewasa seseorang tergantung dari banyak faktor, bukan dari bertambahnya umur. Saya enggak percaya bahwa semakin kaya (harta) membuat seseorang semakin bahagia, karena terkadang atau seringkali, kesederhanaan justru lebih membuat seseorang bahagia. Saya juga enggak menganggap bahwa bagus tidaknya sebuah penampilan seseorang dilihat dari mahal tidaknya barang yang dia pakai, tetapi dari bagaimana seseorang memadupadankannya menjadi terlihat menarik. Saya yakin bahwa kualitas hubungan seseorang enggak selalu dilihat dari berapa lama hubungan yang terjalin, tetapi dari banyak faktor yang tidak bisa dilihat dari angka lama hubungan tersebut berlangsung. Dan masih banyak hal - hal lainnya yang membuat saya semakin sadar bahwa angka hanyalah sebuah tanda pengganti bilangan.
Dulu banget, saya selalu merasa terkagum-kagum dengan orang yang membawa kamera DSLR dengan lensa yang segede gaban, apalagi kalau udah ditemani dengan satu set lengkap peralatan kamera lainnya. Rasanya mau bilang wow gimana gitu hahaha *maklum anak kampung*. Tetapi, seiring berjalannya waktu, saya sadar bahwa "don't judge a book by its cover" itu memang benar adanya dan berlaku juga buat hal ini, yaitu, "don't judge people by what camera they use". Kenapa? karena setelah saya perhatikan lagi, banyak pemakai kamera DSLR yang ternyata hasilnya *ehm* enggak lebih baik dari hasil foto kamera poket. Ini bukannya sok iyeh apa gimana ya, cuma kelihatan aja dari hasil fotonya yang entah blur, komposisinya enggak pas, pencahayaannya enggak diatur, atau hal - hal basic lainnya yang saya sebagai orang awam saja bisa melihat bahwa hasil foto tersebut harusnya bukan dari hasil foto sebuah kamera DSLR. Dan akhirnya, sejak bertahun - tahun yang lalu hingga sekarang, saya semakin sadar bahwa DSLR itu bagi beberapa kelompok orang justru dijadikan sebagai salah satu fashion atau social item, alat untuk terlihat semakin kece buat dijadiin profile picture dan yang terakhir karena berpikir bahwa hasil foto yang didapat dari DSLR akan SELALU lebih baik daripada kamera biasa (pocket/compact digital camera). Yaa kalau buat dua poin pertama, itu suka - suka orang lah yaa, namanya juga manusia kan bermacam - macam adanya, jadi saya no comment. Tapi buat yang terakhir, ini yang membuat saya akhirnya enggak bisa menahan lagi pikiran yang udah lama tersimpan di benak saya selama ini *azek banget ga sih*.
Kamera - kamera yang saya punya dan gunakan selama disini.
Selain kamera poket Sony DSC-H70, saya juga menggunakan kamera analog.
Banyak orang bertanya kepada saya tentang kamera apa yang saya gunakan selama ini. Beberapa diantara mereka menebak bahwa saya menggunakan kamera mahal dan biasanya identik dengan DSLR. Enggak salah sih, karena kebanyakan foto selama saya di Indonesia dan sebelum saya pindah kesini, memang sebagian besar foto tersebut hampir selalu menggunakan DSLR. Tetapi semenjak saya pindah kesini saya hanya membawa kamera poket saya. Alasannya simpel saja karena saya tau bahwa saya akan traveling sendirian dan akan repot serta tidak terlalu aman jika saya membawa kamera DSLR. Ditambah dengan masih sedikit trauma karena pernah kehilangan salah satu kamera DSLR sebelumnya akibat kecerobohan saya sendiri, jadinya saya memutuskan untuk hanya membawa kamera poket. Jujur, awalnya saya agak ragu dan tertarik untuk membawa DSLR juga. Di pikiran saya saat itu karena sudah terbiasa menggunakan DSLR, saya jadi ragu apakah saya bisa mendapatkan hasil dan kualitas foto yang sama baiknya jika saya menggunakan kamera poket. Tetapi akhirnya saya teringat dengan pikiran saya yang lain bahwa bagus engga nya sebuah foto itu bukan sepenuhnya tergantung dari jenis, brand atau mahal engga nya sebuah kamera, tetapi juga tergantung kepada si pemakainya. Bahkan saya bisa bilang kalau justru pemakainya itu lah yang lebih banyak berkontribusi terhadap bagus engganya sebuah hasil daripada si kamera itu sendiri. Dan ternyata sejauh ini saya merasa nyaman - nyaman aja tuh dengan kamera poket saya, bahkan untuk beberapa hal saya merasa lebih suka menggunakan kamera ini ketimbang DSLR. Seperti saat traveling atau saat dimana saya ingin menangkap momen tertentu yang harus gesit. Nah terkadang kalau memakai DSLR justru saya kehilangan momen tersebut karena blur atau karena saya belum segitu cepatnya mengatur setting-annya. Tetapi dengan kamera poket ini justru saya sering mendapatkan momen tersebut.
Oh iya, ini bukan berarti kamera DSLR itu engga ada keistimewaannya dibandingkan poket yaa. Saya tetap setuju bahwa DSLR memang lebih bagus di beberapa aspek, dan bagi saya, untuk foto - foto tertentu seperti photo shoot memang lebih enak memakai DSLR daripada poket. Dan sebenarnya balik lagi ke si pemakai dan tujuan si pemakai kamera. Kalau memang kebutuhannya adalah untuk fotografi dan skill ya mungkin lebih baik menggunakan DSLR, tetapi kalau hanya untuk sekedar "jeprat-jepret", ya lebih baik menggunakan poket.
Hal kedua yang baru saya sadari belakangan ini, terutama semenjak saya suka melakukan solo travel adalah angka tentang sebuah perjalanan atau traveling. Sebagai salah satu pencinta traveling, dulu saya juga termasuk orang yang selalu amaze ketika mendengar orang - orang yang sudah melakukan perjalanan ke berpuluh - puluh negara. Dan bagi saya saat itu, tujuan saya adalah traveling sebanyak banyaknya ke berbagai tempat di berbagai belahan bumi. Bukan mencari makna dan pengalaman dari traveling itu sendiri. Saya yakin, masih banyak juga orang yang berpikiran seperti ini, yang mana tujuan dari melakukan traveling itu sendiri adalah untuk memenuhi kepuasan "yang penting udah pernah melihat, menginjak, merasakan, memfoto dan menandai". Tetapi akhirnya sekarang saya sadar bahwa banyaknya perjalanan yang sudah dilakukan seseorang itu enggak selalu menunjukkan banyaknya pengalaman, pembelajaran, cerita dan ingatan tentang perjalanan itu sendiri. Baru - baru ini, untuk pertama kalinya saya mencoba traveling menggunakan tur. Memang, selama seminggu saya bisa mengunjungi lebih dari 5 kota di suatu negara. Sedangkan di sisi lain, dengan jumlah hari yang sama, saya pernah melakukan solo travel ke suatu negara dan hanya satu kota. Tetapi justru ingatan, pembelajaran dan kenangan pada perjalanan saya ketika solo travel ke satu kota itu lebih memberikan kepuasan bagi saya daripada perjalanan menggunakan tur dimana saya melihat dan mengunjungi banyak tempat. Dari sini akhirnya saya sadar bahwa angka banyaknya sebuah perjalanan tidak lagi penting bagi saya. Sekarang saya justru iri dengan orang - orang yang mendapatkan banyak pengalaman, cerita dan pembelajaran dari sebuah perjalanan daripada orang - orang yang sudah mengunjungi berbagai tempat, tetapi begitu ditanya coba ceritakan apa aja yang dia dapatkan dan kenangan yang didapat, balasannya hanya "oh iya harus banget kesana karena tempatnya bagus, makanannya enak, pokonya wajib kesana deh. Jangan lupa ya foto di depan ini (tempat yang dikunjungi sejuta turis), ini (tempat lain yang dikunjungi sejuta turis) dan ini (tempat lain yang dikunjungi sejuta turis)".
Maaf kalau ada yang merasa tersinggung dengan pemikiran saya ini. Enggak ada maksud apa - apa kok, cuma ingin mengungkapkan salah satu pemikiran yang saya dapatkan aja, kalau terkadang angka itu hanyalah sebuah simbol dari bilangan, tidak menunjukkan arti atau kualitas dibalik sebuah hal :)
setuju banget sama postingan ini.
ReplyDeletejadi semua foto2 kamu di postingan sebelum2nya itu pake poket zu?? :o
luar biasa. makin kagum deh sama ozuu!
Saya termasuk pengunjung blog yg bertanya nazura pakai apa fotonya :D
ReplyDeleteSetuju sedelapan sama sesembilan :P kalau hasil kamera poket biasa juga gak kalah sama DSLR. Karena kadang bukan kameranya tapi siapa di balik kamera yang bisa ambil gambar dengan baik.
Selamat menunaikan ibadah puasa :)
@mira: iyaa miirr pake poket semua hihii. makasii miiraa, you're adorable as well :D
ReplyDelete@ mbak amah: iyaa, sepikiran ya kita mbak hehe. selamat berpuasa juga :D