#ROH 37 : Traditional Markets

Sejak saya kecil, kalau enggak salah sih sejak masih duduk di bangku sekolah dasar, Bunda sering mengajak saya (dan secara bergilir, juga mengajak saudara - saudara saya lainnya) untuk ikut menemani beliau belanja di Pasar Ampera, sebuah pasar tradisional yang jaraknya tidak terlalu jauh dari rumah kami. Pasar tersebut bukanlah sebuah pasar yang bisa dikatakan nyaman. Lantainya yang becek dan kotor, bahkan di beberapa bagian terlihat genangan air, membuat saya harus ekstra hati - hati saat berjalan supaya tidak terpeleset. Udaranya yang pengap dan diselimuti oleh aroma yang tidak biasa; campuran antara bau berbagai sayur dan buah yang masih belum sepenuhnya bersih dari tanah, bumbu rempah - rempah yang menusuk di hidung, hingga ikan dan daging yang amis; terkadang membuat saya pusing. Dengan berbagai kondisi tersebut juga sempat membuat saya awalnya merasa berat hati untuk menemani Bunda kesana. Belum lagi dengan tentengan belanjaan yang hampir selalu membuat kedua tangan saya terasa sangat pegal setelahnya. Namun anehnya, semakin sering saya mengunjunginya, justru saya semakin senang ketika diajak belanja disana. Apalagi kalau setelah itu, Bunda mengajak saya untuk makan di salah satu warung yang menjual semangkuk bubur kacang hijau hangat, lengkap dengan roti tawar putih yang lembut. Bukan, alasan utamanya bukan karena bubur kacang hijau itu kok, haha. Tapi karena saya merasa dibalik penampakkannya yang cenderung kumuh dan kotor tersebut, sebenarnya ada sesuatu yang membuat pasar ini terasa nyaman. Mungkin ini terdengar aneh, tapi saya menemukan jawabannya justru ketika empat tahun yang lalu saat saya kuliah di Inggris dan juga sejak enam bulan yang lalu saya tinggal di Rotterdam.   


Saat itu saya sedang jalan - jalan di akhir pekan mengunjungi New Forest, sebuah daerah pedesaan di sekitar Bournemouth, dan tiba - tiba pandangan mata saya tertuju pada sebuah kumpulan tenda yang dipenuhi oleh para pengunjung. Penasaran melihatnya, langsung saya hampiri. Sebenarnya tempat ini sederhana, hanya berupa kumpulan stand yang lebih mirip dengan warung tenda di Jakarta. Namun berbeda dengan warung tenda yang biasanya menyajikan makanan yang sudah dimasak, para penjual disini lebih banyak menyajikan sayur mayur, buah - buahan, dan daging segar. Beberapa diantaranya menyebut tempat ini sebagai farmers markets, sedangkan ada juga yang menyebutnya hanya dengan sebutan market. Secara harfiah sih memang tempat ini adalah sebuah tempat dimana para farmers langsung menjual hasil panen mereka kepada calon pembeli. Tapi dari pengalaman saya mengunjungi beberapa farmers markets di Inggris dan Eropa, kebanyakan dari markets tersebut juga menjual jenis barang dagangan lainnya seperti  keju, berbagai homemade jam, kue - kue manis, roti; bahkan ada juga yang menjual bunga, pakaian, peralatan rumah tangga, hingga buku - buku bekas. Entah kenapa, meskipun kondisi tempatnya sangat berbeda, tapi ada satu hal yang langsung mengingatkan farmers market ini dengan pasar tradisional yang saya pernah kunjungi di Indonesia, entah itu Pasar Ampera, Pasar Simpang Dago Bandung, atau Pasar Beringharjo Yogyakarta. Dan ya, disitu saya menyadari bahwa seorang saya yang sebenarnya enggak menyukai tempat terlalu ramai, justru sangat menikmati keramaian di berbagai pasar ini. Mungkin karena hiruk pikuk tempat ini yang membuatnya terasa lebih hidup dibandingkan pasar modern, serta keramahan para penjual yang membuat saya enggak bisa menolak rasa nyaman yang diberikan tempat ini. 






Harus saya akui, meskipun udah menyadari kebahagiaan yang saya dapat saat berbelanja di pasar tradisional, tapi rasanya masih sulit untuk menjadikannya sebagai sebuah kebiasaan ketika tinggal kembali di Jakarta selama dua tahun kemarin. Semenjak pindah rumah dan tinggal terpisah dari orangtua saya, jadwal bangun tidur saya jadi lebih siang dari biasanya, sehingga setiap pagi langsung buru - buru berangkat kerja. Sedangkan saat akhir pekan, rasanya mager banget buat keluar pagi - pagi. Padahal di tempat tinggal saya saat itu juga sangat dekat dengan pasar tradisional lainnya. Tapi karena berbagai excuses tersebut akhirnya sebagian besar waktu saya berbelanja buah dan sayur dilakukan setelah pulang kerja di supermarket. Meskipun saya sepenuhnya sadar bahwa di dalam lubuk hati terdalam saya, ada sebuah perasaan bersalah karena tindakan saya ini bertolak belakang dari keinginan saya untuk mendukung peran pasar tradisional. Karena bertolak belakang dengan mimpi saya untuk bisa melihat pasar tradisional di Indonesia dengan fasilitas sebaik traditional markets yang saya temui di negara - negara maju.  




Mungkin karena selama dua tahun itu sebenarnya saya enggak merasa nyaman, jadinya semenjak saya pindah ke Rotterdam dan menemukan bahwa ada farmers market yang diadakan dua kali dalam seminggu di pusat kota, saya bukan main senangnya. Walaupun dengan saya berbelanja setiap minggu di pasar ini enggak akan mempengaruhi kondisi pasar tradisional di Indonesia, tapi setidaknya saya merasa lega aja mengetahui bahwa uang yang saya keluarkan langsung diberikan kepada masyarakat lokal disini. Terlepas dari itu, berbelanja di pasar ini juga sekaligus ajang refreshing bagi saya. Bahkan dari awal pindah sampai sekarang, alasan utama yang membuat saya pasti keluar dari lingkungan kampus minimal satu kali dalam seminggu adalah karena saya belanja stok mingguan sayur dan buah - buahan di pasar ini. Sekalipun ada waktu dimana saya mageeeer banget buat ke kota dan memilih belanja di supermarket yang letaknya lebih dekat dengan kampus, itu juga enggak lebih dari lima kali. Maklum deh, selain karena berbagai alasan sebelumnya yang udah saya bilang, faktor lainnya yang membuat saya lebih senang berbelanja di pasar tradisional adalah harga dan kualitasnya. Dengan kualitas sayur dan buah yang sama (bahkan seringkali lebih segar di pasar), harga yang diberikan di supermarket bisa mencapai dua hingga tiga kali lipat lebih mahal! Kezel kan. Nah, tapi semenjak puasa, akhirnya mau enggak mau saya lebih sering belanja di supermarket. Belajar dari pengalaman saya yang pernah sekali berbelanja saat puasa di farmers market, pulang - pulang langsung lemes banget. Haha! Makanya pas minggu lalu saya kedatangan 'tamu bulanan', saya langsung memanfaatkannya untuk kembali berbelanja di farmers market :D   



2 Comments

  1. Aku juga ngerasain hal yang sama kak huhu, dulu suka banget ikut belanja host-mumku di pasar deket rumah atau sekedar cuma icip-icip makanan di Borough Market, terus pulang ke Indo selalu pingin ikut mama ke pasar-pasar lagi tapi...... kondisinya berbeda :''(

    Btw kak Nazu, do you have any plan on visiting UK this August?

    ReplyDelete
    Replies
    1. Neriii, iya di satu sisi sedih tapi pengen banget bisa benerin pasar tradisional di Indonesia yaa supaya bisa senyaman disini :(

      Aaa kamu rencana ke UK yaa? I'd really love to go there... but unfortunately not this year :'(((

      Delete

Post a Comment