Setengah Perjalanan di Seperempat Abad

Banyak orang menjadikan usia dua puluh lima sebagai salah satu acuan 'kualitas' hidup mereka. Sejauh mana mereka sudah mencapai mimpi mereka atau sejauh mana mereka menjadi diri yang lebih baik. Menduduki jabatan yang lebih tinggi. Membangun keluarga baru. Mendapatkan gaji yang lebih besar. Mengelilingi lebih dari setengah isi dunia. Bagi saya, usia ini begitu spesial bukan karena daftar pencapaian yang saya raih dalam seperempat abad hidup saya, bukan juga karena banyak perubahan yang terjadi dalam diri dan hidup saya. Tetapi karena di usia ini akhirnya saya bisa mensyukuri, menerima diri dan juga hidup saya seutuhnya. Akhirnya saya bisa menemukan kelebihan diri saya yang selama ini selalu ada di depan mata, tapi gagal untuk saya sadari karena saya yang terlalu fokus untuk menutupi kekurangan saya. Akhirnya saya bisa menemukan lebih banyak pembelajaran yang sempat saya sesalkan sebagai bagian dari masa lalu saya. Walaupun saya belum sepenuhnya yakin bahwa saya telah melewati krisis kepercayaan diri yang saya alami sejak duduk di bangku sekolah dasar hingga satu setengah bulan lalu; namun saya bisa bilang bahwa di usia ini saya telah mencapai titik dimana saya merasa sangat bersyukur, dengan kadar yang sebelumnya enggak pernah setinggi sekarang, karena terlahir sebagai diri saya sendiri.


Saya yakin dari dulu kamu juga udah sering mendengar kata, "be yourself", "be who you are", "be true", dan kata - kata lainnya yang intinya mengingatkan untuk supaya kita enggak malu menjadi diri kita sendiri, menjalankan apa yang kita yakini, menerima kekurangan diri sendiri dan mencintai diri kita apa adanya. Tapi saya percaya banget kalau masih banyak yang menganggap semua ini nonsense. Karena memang pada saat diterapkan, semua itu jauuuuuuuuuuuh lebih sulit daripada apa yang dikatakan banyak orang selama ini. Apalagi kalau ternyata menjadi diri sendiri berarti harus melawan beberapa paradigma yang berlaku, yang mana sudah sangat melekat di pikiran kita karena dibesarkan dengan paradigma tersebut. Sehingga sekalipun kita menyadari paradigma tersebut belum tentu benar, maka pengalaman dan pemikiran kita yang bertentangan dengan paradigma tersebut akhirnya kalah. Apalagi kalau ternyata menjadi diri sendiri berarti semakin besar kemungkinan untuk mengecewakan orang lain, karena akan ada beberapa bagian diri kita yang enggak sesuai dengan apa yang diharapkan oleh orang lain.

Iya, selama ini masih ada beban di pundak saya, pikiran yang mengganjal, serta ruang di hati saya yang masih belum sepenuhnya bisa membuat saya bernafas lega. Karena saya masih malu dengan beberapa bagian diri dan kehidupan saya yang beberapa diantaranya berbeda dari apa yang dianggap "normal" oleh masyarakat. Karena terkadang saya masih merasa kehidupan yang dijalani oleh orang lain lebih baik daripada yang saya punya. Karena terkadang masih ada penyesalan - penyesalan di masa lalu saya. Karena saya masih lebih mengutamakan apa yang orang lain selama ini pikirkan dan harapkan dari saya, dibandingkan apa yang sebenarnya saya rasakan. Dan semua itu, pada akhirnya, membuat saya menjadi pribadi yang sangat tertutup dan cenderung takut untuk mengungkapkan pendapat saya.


Saya pernah merasa malu untuk mengakui bahwa saya menikmati waktu saat menghabiskan perjalanan seorang diri. Saya pernah merasa malu dengan hijab yang saya kenakan. Saya pernah merasa malu tinggal di rumah yang enggak seluas dan sebagus rumah kebanyakan teman saya lainnya. Saya pernah merasa malu memiliki banyak saudara. Saya pernah merasa malu menjadi single. Saya pernah merasa untuk mengakui bahwa saya suka makan. Saya pernah merasa malu memiliki teman - teman dan berada di dalam kelompok yang bukan termasuk "the cool kids".

Saya pernah merasa malu dengan bidang ilmu yang saya ambil karena enggak se-mengagumkan jurusan lainnya yang lebih 'teknik'. Well, terlepas dari jurusan Planologi yang sudah lama berada di ITB, tapi sebenarnya para mahasiswanya pun sadar bahwa jurusan ini sebenarnya lebih cocok dibilang sebagai 'teknik coret' karena lebih banyak membahas isu sosial. Begitu juga saat saya memutuskan untuk melanjutkan pendidikan master di jurusan pariwisata dan menjadi dosen di bidang ini. "Memangnya pariwisata bisa dipelajari di kelas ya?" "Oh, ada juga S2 jurusan pariwisata?" "Bukannya itu suatu hal yang bisa dipelajari dari internet?". Padahal terlepas dari semua pandangan orang tentang kedua jurusan tersebut, saya bersyukur memilih kedua jurusan ini, karena darisitulah saya menyadari ketertarikan saya yang sangat besar terhadap suatu topik yang sedang menjadi riset saya saat ini. Saya juga pernah merasa malu dengan pekerjaan saya sebagai dosen, yang mana sering mengundang pertanyaan "Kok mau sih jadi dosen? kan gajinya kecil". Padahal banyak pembelajaran yang saya dapatkan dari pekerjaan saya ini.

Saya sering merasa enggak percaya diri saat bertemu teman - teman saya sepulang kerja karena saya merasa kusam dan keringetan setelah naik transportasi umum. Padahal terlepas dari kenyataan bahwa saya memang enggak bisa menyetir, saya merasa lebih senang naik kereta dan bus, karena saya bisa melihat lebih banyak kondisi sosial masyarakat selama perjalanan, karena membuat saya bisa lebih cepat sampai rumah walaupun harus berdiri lama atau berdesakkan; dibandingkan stuck dengan kemacetan selama berjam - jam dengan ditemani bunyi klakson yang memekakkan telinga.


Saya pernah merasa malu dengan diri saya yang menyukai barang bekas. Saya pernah merasa malu dengan wajah saya yang enggak secantik teman - teman saya lainnya; apalagi dengan kacamata saya yang minus 7-hidung pesek-bibir tebal-jidat jenong-gigi maju-pipi tembem (udah paket lengkap banget kan! haha). Saya pernah merasa malu untuk mengakui bahwa saya menyimpan beberapa lagu Justin Bieber dalam iTunes saya; padahal selama ini saya suka dengan sebuah lagu bukan dari siapa penyanyinya, bukan dari alirannya yang mainstream atau indie, tapi bagaimana irama-nya enak untuk didengar di telinga saya. Saya pernah merasa malu untuk menggunakan pakaian yang membuat saya nyaman, karena melihat tatapan aneh atau mendapatkan komentar enggak enak dari pakaian saya tersebut. Padahal pakaian adalah satu-satunya cara, selain tulisan, untuk mengekspresikan diri saya.

Saya pernah beberapa kali me-nonaktifkan Facebook saya karena saya enggak suka dengan 'perdebatan' orang - orang terhadap dua kandidat presiden saat pemilu dua tahun lalu; atau karena saya enggak berani berkomentar tentang pendapat saya terhadap suatu isu yang juga berkaitan dengan agama. Saya pernah merasa minder untuk membuka Instagram, karena merasa iri dengan kehidupan orang lain yang saya ikuti. Padahal saya tau bahwa sosial media hanyalah "permainan" yang enggak perlu dianggap terlalu serius, karena apa yang terlihat di dalamnya belum selalu benar, karena tombol like yang tertera hanyalah sebuah simbol yang hanya menjadi penghias 'wajah' kita di dalam sosial media, namun enggak merepresentasikan kualitas diri dan hidup seseorang yang sebenarnya.


Tapi kamu tau? Lama kelamaan saya lelah dan menyerah. Saya menyerah untuk terus merasa malu dengan diri saya. Saya menyerah untuk terus menyimpan berbagai pemikiran 'kontradiktif' yang saya miliki karena merasa takut akan mengecewakan orang lain. Saya menyerah untuk selalu memikirkan kehidupan orang lain di berbagai sosial media. Saya menyerah untuk terus membanding-bandingkan diri saya dengan orang lain, yang bukan hanya membuat saya merasa minder dan iri, tetapi juga mengurangi rasa syukur dengan apa yang saya miliki, melupakan kelebihan yang saya miliki, dan memaksakan untuk menjadi seseorang yang terlihat seperti apa yang orang lain lihat, bukan yang sebenarnya saya jalani.

Sedikit demi sedikit saya mulai membuka diri sejak setahun yang lalu ketika menyadari bahwa kita enggak perlu takut untuk menunjukkan kelemahan diri sendiri, yang saya tuangkan dalam postingan Being Vulnerable. Dan semenjak itu saya mulai berani terbuka dengan menulis beberapa postingan lainnya, mulai dari pengalaman yang saya alami sebelum memutuskan S3, tentang proses panjang yang saya lalui untuk menemukan makna kebahagiaan, masa - masa berat yang sempat saya alami saat baru pindah ke Rotterdam, serta berbagai sisi saya lainnya yang dituangkan dalam postingan #ROH. Setiap menulis tentang pemikiran dan pengalaman saya, rasanya selalu ada perasaan takut yang menyelimuti saya. Tapi nyatanya, saya justru merasa lega setelah menulis semua hal tersebut disini.



Dari situ juga, akhirnya saya sadar bahwa meskipun membutuhkan proses yang sangat panjang untuk memahami ini semua, saya ingin tetap menjadi diri saya sendiri. Karena dengan perbedaan pengalaman, karakter dan pemikiran yang dimiliki oleh setiap orang pada akhirnya enggak bisa membuat hidup kita hanya dinilai dari "standar" yang berlaku di masyarakat. Karena dengan membuat kita "sama" dengan orang lain, sama aja menyia-nyiakan rencana Tuhan untuk melahirkan setiap manusia yang berbeda dan unik satu sama lainnya. Karena dengan malu untuk menunjukkan pendapat dan pemikiran kita, sama aja melewatkan pembelajaran untuk saling menghargai perbedaan kehidupan dan pandangan yang dimiliki setiap dari kita. Karena dengan mencintai diri sendiri, enggak ada lagi terbersit pikiran "seandainya saya jadi dia/mereka" dan "enak banget jadi mereka"; sehingga pada akhirnya enggak ada konflik yang disebabkan oleh alasan enggak penting seperti 'karena merasa iri atau benci melihat kesuksesan orang lain'. Karena dengan kelebihan dan keunikan yang berbeda, justru bisa membuat kita lebih memahami bahwa setiap manusia memiliki "lahan untuk berkembangnya" masing - masing. Dan dengan begitu kita bisa lebih fokus untuk memaksimalkan potensi yang kita miliki dan mencari solusi atas kekurangan yang kita punya.


I know it sounds very cheesy and cliche, but honestly, it took me twenty five damn years to finally understand myself; to completely love and accept everything in my life; to unashamedly show you who I really am. And I don't think there is anything else that more matter than becoming braver and more true to myself. Di usia ini merupakan titik dimana saya merasa sangat bersyukur dan mencintai diri dan hidup yang saya jalani. Melakukan hal - hal yang saya suka, menerima segala perbedaan dan keunikan yang saya miliki; tanpa takut dan merasa malu oleh pandangan, paradigma, norma, sistem, kebiasaan yang berlaku bagi banyak orang. Disini saya juga akhirnya mendapatkan jawaban bahwa kebahagiaan tertinggi itu bukan dicapai saat saya merasa bahagia setiap saat, atau sering tersenyum tanpa alasan, atau merasa semangat tanpa sebab, atau enggak mengalami mood swing dalam kurun waktu yang lama, atau bebas dari stres. Bukan juga dicapai ketika saya merasa diri dan hidup saya sempurna. Bukan juga dicapai ketika saya merasa lebih baik dari orang lain. Bukan juga ketika semua yang saya inginkan bisa terpenuhi. Bukan, bukan itu. Kebahagiaan tertinggi bagi saya adalah saat saya bisa merasa sepenuhnya mencintai segala kelebihan dan kekurangan diri saya. Bisa menerima sepenuhnya kehidupan saya saat ini, tanpa menyesali pilihan - pilihan yang sudah diambil di masa lalu. 


Dengan berbagai alasan yang udah saya tuliskan sebelumnya, maka saya memutuskan untuk menulis  pemikiran dan pembelajaran yang saya dapatkan dari pengalaman hidup selama seperempat abad; dan menuliskannya dalam postingan berseries #Pelajaran Seperempat Abad, hingga hari terakhir sebelum saya memasuki usia baru. Sebenarnya beberapa pemikiran ini udah menumpuk dari beberapa tahun lalu, tapi saya masih belum yakin sehingga baru sekarang saya berani untuk keluarkan. Selain itu, saya paham bahwa manusia cenderung berubah dan memiliki perbedaan pandangan di setiap fase yang mereka lalui. Makanya enggak menutup kemungkinan bahwa suatu hari nanti saya akan mengalami masa krisis lagi, dimana kepercayaan diri dan rasa sayang terhadap diri saya akan runtuh kembali karena berbagai hal di luar kendali saya saat ini. Tapi setidaknya dengan menulis ini dan semua yang akan saya ceritakan nanti di #Pelajaran Seperempat Abad, saya berharap bahwa itu bisa menjadi pengingat bagi saya untuk terus menjadi, menerima, dan menyayangi diri saya sendiri.

"She realised that life was what it was. And suddenly she understood the only part of it she had any control over was how she lived it. So, she chose to do it with self love".

Queenisms

24 Comments

  1. Kak Nazuuu 💛
    I hope I'll get to meet you soon someday and listen to all your heartwarming stories <3

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aww, Neriii! Let's meet up someday! Somewhere in England, eh? :3

      Delete
  2. Haloo Nazura. Tks byk u/ artikelnya yg sgt sgt menginspirasi dan mengingatkan aku u/ mengejar kebahagiaan diri,bukan mengikuti standar yg ditetapkan masyarakat krn di situlah indahnya perbedaan. Sejak lama aku nyaman mengenakan pakaian berlengan panjang. walaupun aku bukan umat Muslim, aku sgt menyukai gaya busana Muslim. Namun keluarga dan teman menyarankan aku u/ tdk menjalani hal tsb. Sehingga saat keluar rumah aku sering tidak PD dg penampilanku. Kemudian aku tdk PD dg status yg msh single sementara byk teman yg sdh menikah dan memiliki anak. Dan aku terkadang dicap aneh krn sering pergi seorang diri pdhl aku nyaman dan di situlah kesempatan berkenalan dg org baru. Perlahan aku mulai menerima kekuranganku dan mengekplorasi kelebihan. Hingga aku bergabung di sebuah komunitas menulis dan dari situ terbukalah satu per satu kesempatan yg tak pernah aku bayangkan sebelumnya. Benar yg kamu bilang: sayang sekali melewatkan potensi besar dalam diri karena mungkin di situlah Tuhan bekerja menjadikan kita pribadi yg luar biasa. Sukses yaa Nazura u/ studinya.
    *Aku lagi tunggu buku kamu. Tadi aku sms penerbit, mereka bilang dlm minggu ini rencananya buku dikirim

    ReplyDelete
    Replies
    1. Haiii mba Ignas. Makasih juga yaa mbaa udah berbagi cerita jugaa.. jujur, aku masih sempet khawatir sesaat setelah posting ini. But I feel relieved after reading your comments.. karena ternyata aku enggak sendirian yang merasakan hal seperti ini: berjuang untuk menerima kekurangan dan fokus dengan kelebihanku. Aku ikut senang dengernya mba, apalagi kayanya menarik sekali itu komunitas menulisnya! :D

      Makasih ya mbaa udah beli buku akuu.. semoga beneran bisa sampai minggu ini yaa bukunya, dan tentunya enggak mengecewakan :')

      Delete
  3. Ozuu, I could resonate with most of your post but this one hits the nail on the head! I know how it feels to be afraid to speak up, to let my opinions known and heard, and other things. I definitely know how it feels to be inadequate, feeling too conscious about myself and worrying how other people would take it. I've got better at this, but I'm still working it out. Ditunggu yaa Pelajaran Seperempat Abad nya :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Aaa, Dixieee.. sama - sama berusaha dan saling mengingatkan supaya enggak kalah dengan kekhawatiran diri kita sendiri yaa! karena kita enggak akan pernah tau seberapa penting pendapat kita bagi orang lain kalau kita enggak berani mengungkapkannya :')

      Delete
  4. Hi, mba Nazura, terima kasih ya sudah memposting sesuatu yang sangat "private", your very own personal thought. Karena tidak semua orang ma(mp)u mengenali perasaannya sendiri. Sadar atau tidak, kamu itu role model untuk banyak orang di luar sana, saya salah satunya :D

    Cheers :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai mba! makasih juga yaa udah mau menulis komentar yang semakin membuat hati saya lega udah menulis postingan ini. you made my day! :D

      Delete
  5. salam kenal mbak ozu,
    terima kasih sudah menginspirasi saya yang baru beberapa bulan ini membaca postingan mbak ozu mulai dari awal hehe (sejak postingan mbak ozu yang masih se paragraf ex. th 2010 sampai postingan mbak ozu yang sekarang) terima kasih atas inspirasinya membuat saya menjadi semangat memulai post di blog juga karena saya selalu mendapat masalah untuk menulis di buku (karena buku diary hilang, karena kunci gembok buku diary hilang, ataupun kalau gak hilang ya dibaca sama temen)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hi cynthya, salam kenal juga yaa! aduh, aku jadi malu, ketauan deh labil-labilnya di postingan awal blog ini :))

      makasih juga yaa udah baca blog aku. anyway, aku udah ngintip blog kamu, and it looks nice! terutama postingan terakhir kamu tentang 'melihat diri dari pandangan orang lain'. setuju banget sama isinya!

      keep blogging yaa :D

      Delete
  6. Mba Nazu.. saya baru ngikutin blog mba 2 minggu ini dan langsung suka sama postingan mba nazu. Saya pengen nangis baca postingan kali ini. Karena nonjok banget bagi saya yang sering banget ngerasa "wah, enak banget hidup si A" atau "seandainya saya jadi dia" bla bla.. betapa ga bersyukurnya saya selama ini. Masih labil banget ya. huhu. Terimakasih untuk postingan nya mba. postingannya saya bookmark buat jadi pelajaran bagi saya :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai mba Ikrimmah. Makasih juga yaa udah mau menulis dan membuat saya senang bahwa postingan ini bisa bermanfaat bagi yang membacanya. Enggak labil kok mba, menurut saya malah sangat manusiawi, karena saya pun juga dulu sering merasa kehidupan yang dijalani orang lain lebih baik dari saya. Sama - sama belajar untuk terus bersyukur dengan yang kita punya ya mbaa :D

      Delete
  7. Hai Kak Zu, saya sangat suka dengan artikel kk yg ini. Sampai-sampai saya terinspirasi ingin menulis artikel yang temanya serupa dengan tulisan kk yg ini. Saya mohon izinnya, bukan maksud saya menjiplak, saya benar2 terinspirasi. Karena sedikit banyak karya-karya kk di blog bisa dikatakan sebagai guru bagi saya menemukan passion saya dalam menulis. Jujur awalnya mindset saya sangat sempit, saya berpikir (khususnya bagi saya) saya pikir saya hanya untuk menulis cerpen. Tapi setelah membaca blog kk dan beberapa blogger yg lain, saya menyadari bahwa apapun bisa saya tulis, termasuk tentang pengalaman sehari-hari dan pemikiran saya dalam hidup. Jujur sejauh ini belum ada kemajuan yg berarti dari saya dalam hal menulis (saya juga masih sangat malu menunjukkan tulisan saya, bahkan pada pacar saya), tapi saya terus belajar dan berusaha di tengah kesibukan aktivitas saya yg bisa dikatakan sangat sulit mencari waktu senggang untuk benar2 "me time".
    Btw, bolehkan saya memberikan pendapat tentang kegalauan dan mood swing yg sering kk alami (mgkn skrg udah jarang yah?) Saya hanya ingin mengingatkan bahwa semua yang kita pikirkan itu hasil ciptaan pikiran kita sendiri, coba untuk menjaga jarak dgn pikiran kita sendiri, well hal itupun masih sering saya latih sampai skrg. kenapa kk setelah menulis kk merasa lega? itu karena saat kita menulis, kita menuangkan segala rasa sakit, penderitaan, konflik, dan apapun yg kita pikirkan. setelah semua itu kita tuangkan dalam tulisan, itu membuat jarak antara 'kita' yg sesungguhnya dengan 'pikiran' kita. Saya ada rekomendasi blog yg mgkn kk tertarik untuk membaca-baca isinya, ini linknya: https://rumahfilsafat.com/2016/03/11/jalan-hidup-zen/
    terima kasih ya kak, kalau kk berkenan membaca komen saya dan memberi tanggapan. saya senang bisa membaca tulisan2 kk. semoga lewat blog ini, kita bisa saling memberi manfaat. Have a nice day :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai Maria! Silahkan bangeeet, aku malah seneng kalo kamu jadi berani nulis tentang banyak hal, terutama yang selama ini kamu masih merasa ragu atau takut untuk dikeluarkan. Aku bisa paham ketakutan atau rasa malu, because I was there too. Bahkan aku baru berani buat ngasih tau blog aku ke banyak orang setelah 6 tahun aku blogging hehee. sebelumnya aku selalu malu untuk menunjukkan blog dan tulisan aku. Tapi aku harap kamu enggak perlu menunggu selama aku untuk bisa berani menulis dan memperlihatkan tulisan - tulisan kamu ke banyak orang :D

      Iyaa, aku setuju banget sama yang kamu bilang.. aku sebenernya udah sadar kalo semua tergantung pikiran kita. tapi nyatanya enggak semudah itu untuk terus mengontrol dan menjaga pikiran kita. Indeed, I think it's one of the hardest things in life. tapi aku bersyukur banget semakin kesini aku udah semakin 'ahli' untuk mengontrol pikiran aku sehingga aku udah enggak mudah mood swing lagi. Pun kalo tiba - tiba mood aku turun, aku langsung cepet2 cari cara supaya bisa kembali semangat lagi.

      Makasih yaa Maria, udah ngingetin aku tentang semua inii dan makasih juga udah baca dan ngasih komentar disini. You don't know how much this means to me. Keep writing and being yourself :D

      Delete
  8. Sama2. Makasih juga uda mau ngerespon komen aku, walaupun kita belum kenal secara langsung, tapi di jaman yg maju ini lewat apapun bisa bersilahturahmi kan(selama itu positif :D).
    Oke kak, saat aku uda bisa lengang nanti pasti aku akan coba tulis. thx for you support.
    Yups, yg namanya menjaga jarak sama pikiran itu emang latihan sepanjang hidup kak. Aku juga sama, masih terus belajar nih. Jangan pernah putus asa ya kak. Uda baca blog filsafatnya? Mnrt aku filsafat itu banyak banget fungsinya dalam hidup, akhir2 ini aku sering baca2 isinya.
    Aku selalu baca tulisan kk, dan nunggu artikel selanjutnya :P
    Sukses kuliah S3 nya yah...

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaa pastinyaa! Oh yaa, aku udah sempat buka blognya dan baca sekilas.. kayanya bagus yaa isinya, tapi rasanya agak berbeda dari yang aku jalani selama ini.. mungkin aku bukan orang yang terlalu filosofis :p

      sukses juga buat kamu yaa! :)

      Delete
  9. salam kenal k nazura, aku fatma, seneng bngt bisa baca blog kk,,, apalagi artikel yang seperempat abad ini, sesuai sm kondisi aku saat ini, yang menginjak 25 tahun. aku pernah baca d sebuah buku yang aku lupa judul bukunya yang pasti kalimat yg tersirat dlm buku itu bgini k,,, bahwa umur 25 tahun itu adalah sebagai penentu dr kehidupan selanjutnya. apakah benar seperti itu k,,, mhn penjelasannya barangkali kk punya pandangan perihal kutipan d buku itu. trims's

    ReplyDelete
    Replies
    1. Hai fatma. makasih udah baca blog aku :)

      anyway, aku enggak bisa menjawab dengan pasti tentang apa yang ditulis di dalam buku yang kamu baca.. karena aku enggak tau isi buku tersebut pastinya.. tapi sejauh yang aku pahami selama ini, setiap orang memiliki fase yang berbeda - beda dalam hidup mereka. jadi rasanya kehidupan mereka selanjutnya enggak ditentukan oleh batasan usia tertentu. ada yang baru memahami diri mereka setelah usia 25 tahun, ada juga yang sebelum usia 25 tahun.. ditambah lagi dengan kecenderungan manusia yang suka berubah dalam setiap fase hidupnya, rasanya agak sulit untuk menjadikan usia 25 sebagai penentu kehidupan selanjutnya..

      tapi ini semua cuma pendapatku dari apa yang aku baca dan lihat selama ini.. mungkin kamu bisa googling juga pendapat orang lain tentang ini.. semoga bisa sedikit mengurangi kebingungan kamu :)

      Delete
  10. Assalammualaikum kak nazura, salam kenal. Ini pertama kalinya aku baca tulisan kk, inipun aku taunya dari seorang teman. Well, aku sampai nangis, karna aku sadar aku sama seperti yg kk tulis di cerita ini. Aku yang ga percaya diri dengan diri aku sendiri, aku yang ingin merasakan bagaimana jadi orang lain, but i can't. Tulisan kk ini menyadarkan bagaimana agar kita senantiasa selalu bersyukur terhadap apa yg telah diberikan, walaupun sampai sekarang aku merasa ga percaya diri dan msh iri dengan org lain. Tulisan kk ini memotivasiku. Thanks kak :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Walaikumsalam Nadhi, salam kenal juga yaa. makasih yaa udah ngasih tau aku ini semua.. I'm speechless, beneran ga tau mesti ngomong apa lagi selain bilang makasih. semoga kamu bisa semakin percaya diri dan terus bersyukur dengan diri kamu yaa. semangat Nadhi! *pelukkk* :)

      Delete
  11. Assalamualaikum Kak Nazu,salam kenal ya kak
    Baru pertama kali berkunjung ke blog Kakak. Langsung suka sama postingannya, apalagi yang tentang ini. Sama persis yang aku rasain sekarang,Kak :') beberapa bulan terakhir ini rasa minder semakin menjadi jadi. Minder kenapa gak bisa kayak orang lain, selalu khawatir sama diri sendiri :'))
    Tapi setelah baca blog Kakak, rasanya nyesss. Ketampar. Banget.
    Makasih ya Kak, sudah berkenan berbagi kisah disini. Sangat bermanfaat sekali. Semoga Allah selalu memudahkan segala urusan Kakak. Keep inspiring, Kak ❤

    ReplyDelete
    Replies
    1. Halo Andhira.. salam kenal juga! makasih banyak ya.. aku bingung mau bales apa, tapi yang pasti aku seneng banget dengernya :')

      aamiin ya Rabb, semoga doa yang sama juga kembali ke kamu yaa :D

      Delete

Post a Comment