Reproduction of Happiness #86: SONY

Pernah enggak sih kamu suka sama satu barang dan udah masuk dalam wishlist selama beberapa tahun lamanya hingga suatu hari kamu akhirnya bisa beli barang tersebut. Saya jarang banget show off ketika baru membeli barang. Tapi sekalinya saya membahas di sini berarti tandanya barang tersebut sangat istimewa bagi saya. Gimana enggak istimewa, butuh waktu lima tahun hingga akhirnya saya bisa beli barang yang satu ini.


Why I Left Olympus OM-D E-M 10

Semuanya berawal dari September 2018 lalu ketika kamera Olympus OMD EM 10 yang saya gunakan selama tiga tahun belakangan ini tiba - tiba aja rusak. Lebih tepatnya sih lensanya enggak bisa digunakan sama sekali. Long story short, saya akhirnya membeli lensa baru. Eh, ternyata baru dipake beberapa hari lensa tersebut juga rusak. Dan kerusakannya sama persis seperti sebelumnya. Layar kamera hitam dan tertulis "please insert lens". Again, long story short, akhirnya saya memutuskan untuk membeli kamera baru. Sebelum kamera tersebut rusak sebenarnya saya udah beberapa kali kepikiran untuk mengganti kamera karena merasa EM10 kurang cocok di saya. Apalagi setelah dikecewakan oleh lensa Meike 35mm F/1.7 yang awalnya saya beli supaya bisa lebih banyak bereksperimen saat menggunakan EM10. Tapi ternyata lensa ini enggak sesuai dengan ekspektasi saya. Pertama, harganya lebih mahal ketimbang beberapa brand lainnya. Untuk DSLR Sony dan Canon, lensa 35mm bisa dibeli dengan harga 1 juta bahkan bisa lebih murah, sedangkan buat Olympus saya beli 1,8 juta. Padahal lensa ini termasuk yang paling murah ketimbang lensa lainnya yang tersedia buat Olympus. Selain masalah harga, lensa tersebut ternyata lebih sulit digunakan ketimbang fixed-lens lainnya yang pernah saya coba sebelumnya, yaitu Sony dan Canon. Masalah utamanya menurut saya sih karena lensanya yang berat jadi susah buat mendapatkan hasil yang enggak blurry tanpa menggunakan tripod, terutama saat pencahayaannya rendah.

Alasan terakhir kenapa saya akhirnya beralih dari EM10 adalah karena selain modelnya yang vintage, warnanya yang soft, dan videonya yang HD; menurut saya secara keseluruhan kualitas kamera ini B aja alias Biasa aja. Dari sisi image quality, kamera ini surprisingly sering menghasilkan foto yang kurang tajam dan banyak noisenya, apalagi kalo di-zoom, sering sedih akutu kalo ngeliat hasilnya. Lalu dari sisi ergonomis dan handling, menurut saya EM10 ini kurang user friendly. Awalnya saya kira karena enggak terbiasa, tapi setelah tiga tahun memakainya saya juga masih belum sepenuhnya nyaman seperti ketika menggunakan Sony.







Why I Bought Sony A7

Full-frame

Kamera terakhir yang saya gunakan sebelum Olympus adalah (DSLR) Sony Alpha 550 dan (compact) Sony DSC-H70. Fyi, kalo kamu tertarik buat membaca review kedua kamera tersebut bisa dilihat di postingan saya yang iniSaat memakai Sony A550, saya lagi seneng-senengnya bereksperimen dengan lensa. Dari tiga lensa yang saya punya, saya paling suka 50mm F/1.8 karena, oh well, siapa yang enggak suka dengan fixed-lens? Hasil foto yang bokeh disertai warnanya yang lebih vibrant dan fotonya yang lebih tajam. Tapi menggunakan kamera dengan sistem sensor APSC yang meng-crop banyak area di sebuah foto, membuat saya ingin punya kamera full-frame supaya bisa menghasilkan foto bokeh dengan jangkauan area gambar yang lebih luas. Dan karena hal tersebut, salah satu wishlist saya dari lima tahun lalu adalah memiliki Sony A7 atau Canon EOS 5D. Terlepas dari jenis, brand, dan serinya yang berbeda, kesamaan dari kedua kamera tersebut adalah mereka sama - sama full-frame dan banyak mendapatkan review yang bagus, termasuk dari fotografer dan blogger favorit saya: Nicoline Patricia Malina dan Carrie "Wishwishwish".

Oh iya, buat kamu yang belum familiar dengan istilah full-frame, saya coba jelaskan sedikit yaa. Jadi ada dua tipe kamera berdasarkan sensor yang digunakan, yaitu full-frame dan APSC (cropped sensor camera). Perbedaan utama keduanya terletak di crop-factor effect atau ukuran area gambar yang tertangkap di kamera. Berhubung sensor APSC yang kecil, area yang tertangkap di sebuah foto juga jadi lebih kecil karena banyak area yang di-crop. Sedangkan pada full-frame camera yang punya sensor lebih besar dari APSC, menghasilkan foto dengan jangkauan gambar yang lebih luas. Bahkan dengan lensa tertentu, seperti 50mm F/1.8, full-frame camera bisa menghasilkan foto dengan jangkauan gambar yang kurang-lebih sama dengan human vision. Dengan kata lain, suatu objek yang sama akan terlihat lebih "sempit" dalam kamera APSC ketimbang dalam kamera full-frame. Contoh gampangnya bisa dilihat di sini.

Sayangnya, kebanyakan kamera menggunakan APSC. Hal lain yang paling disayangkan adalah harga kamera full-frame yang mahal. Makanya saya sempat hopeless ketika ngecek harga kamera full-frame di tahun 2016 dan ngeliat kalo seri paling murahnya aja masih di luar budget kamera saya. Tapi di akhir November lalu saat lagi liat - liat kamera, saya baru sadar kalau Sony A7 harganya udah semakin turun sejak Sony mengeluarkan beberapa seri terbaru A7 lainnya. Kali ini dengan harga segitu bisalah buat dibisa - bisain masuk dalam budget saya :))






Vibrant & vivid color

Meskipun banyak yang bilang kalo keunggulan lainnya dari full-frame camera adalah kualitas gambar yang lebih bagus dari APSC, termasuk soal warna dan ketajamannya, tapi bagi saya yang udah pernah menggunakan dua kamera Sony sebelumnya bisa bilang kalo untuk urusan kedua hal tersebut sebenernya lebih tepat dibilang sebagai keunggulannya Sony. Selama menggunakan Nikon dan Olympus, juga melihat hasil foto dari Canon dan Fuji, rasanya belum ada yang ngalahin vividness and vibrancy level yang Sony berikan. Di mata saya, hasil foto Sony sering membuat sebuah gambar yang tertangkap menjadi terlihat hidup karena kedua aspek tersebut.

Cuma harus saya akui salah satu kekurangan Sony A550 adalah warnanya yang terlalu saturated dan terlihat kurang natural ketika digunakan saat low light. Tapi setelah beberapa tahun menggunakan Olympus dan terbiasa dengan warnanya yang kalem, saya jadi takjub sendiri saat melihat hasil foto khas-nya Sony. Kali ini kekurangan tersebut udah dihandle dengan baik oleh Sony A7 dengan low light performance yang WOW. Biasanya saya enggak menaruh ekspektasi tinggi dengan hasil foto yang diambil saat mendung atau sesudah maghrib karena biasanya banyak noise. Tapi semua itu berubah sejak melihat hasil foto A7. Dari sepenglihatan saya, justru ketika pencahayaannya udah rendah, misal saat maghrib dan sesudahnya, warna yang dihasilkan jadi lebih soft tapi tetap tajam. Selain itu, noise yang dihasilkan jauhhh lebih rendah ketimbang berbagai kamera yang pernah saya pakai sebelumnya.

Fyi, semua warna di foto ini asli dari kameranya. Biasanya saya suka mengedit foto berlebihan dengan preset Lightroom atau VSCO, tapi selagi melihat foto - foto hasil A7 ini saya takjub sendiri melihat warnanya yang udah keluar dan baguuus banget. Jadi akhirnya saya cuma sedikit mengedit, itu pun hanya untuk aspek brightness dan contrast.







Sebenernya bagi saya yang bukan blogger atau fotografer profesional atau orang yang bekerja di dunia advertising, punya full-frame camera enggak penting - penting amat. Cuma setelah menimbang beberapa hari, memikirkan kembali apakah memang worth it buat membeli kamera baru, akhirnya saya yakin untuk membelinya. Bagi saya selalu ada kebahagiaan tersendiri saat memegang kamera yang bikin saya nyaman dan semangat buat bereksperimen, serta ada kepuasan tersendiri ketika melihat hasil fotonya yang progressive. Lagipula, who knows kaan, kali aja saya beneran jadi blogger atau fotografer professional suatu hari nanti. Now, I must say this is one of the best decisions I made in 2018 and the best bday gift I've ever given to myself :)

5 Comments

  1. Kak...aku pun berpindah pada Sony. Setelah DSLRku gabisa buat motret outdoor :"). Dan bener-bener patokanku kalau mau ganti kamera cuma ke Sony doang karena nangkep warnanya bisa hidup kalau motret. :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. LUK! akhirnya kamu ganti kamera jugaa! dan kok bisa samaan kita ke Sony :')

      ku pun akhirnya menyadari kalo Sony itu memang yang terbaik diantara yang lain :)) #kokjadiberasakayangomonginjodoh

      Delete
  2. aahhh... pantesan nice pictures... hehehe..

    ReplyDelete

Post a Comment