Pertemuan Pertama dengan Sumba


Banyak yang menanyakan kenapa kami memilih Sumba sebagai destinasi bulan madu. Sebenarnya sudah lama terbersit di pikiran kami untuk mengunjungi Sumba. Ican yang sudah pernah mengunjungi beberapa tempat di Indonesia Timur sengaja “menyisakan” Sumba untuk saya. Sementara saya yang belum pernah menginjakkan kaki sama sekali di sana, sudah lama sekali ingin memuaskan rasa penasaran saya terhadap keindahan alam Timur, yang selama ini hanya bisa dilihat dari foto - foto orang lain. Akhirnya ide untuk menjadikan Sumba sebagai destinasi honeymoon kami semakin bulat setelah mengetahui bahwa Ican hanya memiliki jatah cuti lima hari untuk nikah. Dengan waktu terbatas, kami mesti memanfaatkan sebaik-baiknya destinasi mana yang bisa kembali memulihkan jiwa dan raga kami yang beberapa bulan ini sudah sangat letih. Tanpa berdiskusi lagi, kami berdua langsung sepikiran ke satu tempat yang sama. 


Kali ini kami sepakat untuk menggunakan mencari private trip karena berbagai alasan seperti waktu liburan yang terbatas, kerjaan, dan persiapan nikah yang sudah memakan banyak waktu dan tenaga kami berdua, serta cerita dari orang - orang yang sudah pernah berkunjung ke Sumba sebelumnya tentang keterbatasan pengembangan pariwisata di sana yang belum memudahkan wisatawan untuk berjalan sendiri. Dan dari rekomendasi salah seorang teman kami serta profile yang meyakinkan di sosial media, kami menghubungi Kaki Sumpit. Berhubung saat itu lagi banyak yang diurus, jadi begitu melihat daftar harga yang tertera, serta cek-ricek akomodasi dan itinerary, tanpa ba-bi-bu lagi saya dan Ican langsung sepakat memilih Kaki Sumpit.

Oh iya, karena cukup banyak yang nanya soal budget, untuk private trip ini totalnya Rp.15 juta untuk dua orang, sudah termasuk penginapan, transportasi, serta makan tiga kali sehari selama 5 hari 4 malam; tapi di luar tiket pesawat yang kurang lebih Rp.8 juta untuk dua orang. Tapi tentunya untuk open trip akan lebih murah dari itu, dan semakin banyak orang yang ikut dalam grup open trip tersebut maka akan semakin murah. Selain itu harganya juga bervariasi berdasarkan penginapan yang dipilih serta jumlah hari. Kalo ditanya worth it enggak? Wah, jujur banget nih, awalnya kami enggak menaruh ekspektasi apa pun ke Kaki Sumpit tapi ternyata kami diberi banyak kejutan selama perjalanan ini, and this trip is undoubtedly one of the best trips we've ever had in our life! :)


Masih teringat jelas sampai sekarang ketika kami baru tiba di Bandara Tambolaka yang terletak di Sumba Barat. Saat itu saya dibuat kaget sekaligus terkesima melihat pemandangan di luar pesawat. Sejauh mata memandang hanya terlihat hamparan tanah tandus dan pepohonan kering dengan jumlah bangunan yang bisa terhitung dengan jari. Sebuah pemandangan yang belum pernah saya lihat sebelumnya di belahan Indonesia yang pernah saya kunjungi. Begitu sudah di luar bandara pun, pemandangannya tidak jauh berbeda. Sesekali terlihat uma mbatangu, atau "rumah berpuncak" yang menjadi arsitektur khas Sumba. Sesekali juga ada rumah yang di depannya terdapat rumah makam kecil yang terbuat dari keramik dengan dominasi warna putih. Namun selebihnya hanya tanah berpasir dengan partikel - partikel debu yang terlihat jelas di udara, serta lahan hitam yang sengaja dibakar oleh penduduk setempat supaya bisa cepat ditanam kembali. 






Setelah satu jam perjalanan dari Bandara Tambolaka, akhirnya kami tiba di destinasi pertama kami, yaitu Kampung Adat Ratenggaro. Sesampainya di sana, kami adalah satu - satunya pengunjung yang ada saat itu. Suasana kampung tersebut sangat sepi. Yang ada hanyalah beberapa warga yang sedang duduk santai di depan rumah menara jerami mereka, Uma Kelada. Sesekali terlihat beberapa hewan seperti ayam, babi, dan anjing yang lalu lalang bersama - sama. Ini baru pertama kalinya saya melihat ketiga hewan tersebut bermain bersama, dan entah mengapa ada perasaan haru tersendiri. "Hewan berbeda jenis aja kok bisa hidup tentram, kenapa manusia susah sekali seperti itu?"

Bagi saya sendiri, tidak banyak yang dilihat di kampung adat ini. Kami berjalan mengelilingi kampung yang katanya sudah ada sejak zaman megalitikum, yang artinya sudah ada sejak ribuan tahun yang lalu. Sambil mengagumi bentuk rumah jerami, kami juga melihat hasil pahatan warga setempat (yang tidak saya beli karena terlihat mistis! hehe), serta kuburan batu yang menjadi ciri khas dari kampung ini, dan tidak lupa juga pemandangan pantai cantik yang berada di bagian belakang kampung.

Destinasi kami berikutnya lah yang memberikan banyak warna di hari pertama kami bertemu dengan Sumba. Sambil menulis cerita ini, saya melihat kembali beberapa video yang saya rekam ketika pertama kali sampai di Pantai Bawana. Sudah berapa belas kali saya melihat video - video tersebut, tapi perasaan saya tetap sama. Saya rasa itu pertama kalinya saya jatuh hati dengan Sumba, dan pertama kalinya juga saya mengerti mengapa tempat ini istimewa.





Sebelum sampai di Pantai Bawana, saya dan Ican sudah sama - sama kegirangan karena akhirnya kami bisa melihat laut lebih dekat. Belum lagi penampakan pantai ini langsung mengingatkan saya dengan Durdle Dore, sebuah pantai di Dorset, Inggris. Iya, ekspektasi saya hanya sebatas itu saja. Saya enggak menyangka bahwa kami harus melewati turunan bebatuan yang cukup panjang, terjal, dan tentunya cukup sulit untuk dilalui dengan sandal teplek. Untungnya saat itu ada dua warga lokal yang ikut bersama kami; meskipun kata Bang Jo mereka ini sebenarnya memaksa untuk menemani kami ke bawah supaya bisa dibayar. Namun saya enggak keberatan, karena keberadaan mereka sesungguhnya membantu kami (terutama saya yang bentar - benar butuh bantuan) ketika naik dan turun jalanan tersebut :))

Hingga akhirnya kami sampai di satu titik di mana suara deras ombak dan air laut terdengar jelas di telinga saya, diiringi dengan samar - samar suara tawa dan teriakan girang anak - anak kecil. Dan saat itulah, lagi - lagi, saya dibuat terkesima oleh Sumba. Namun kali ini juga diiringi dengan sebuah perasaan bahagia. Bukan karena pemandangan pantai dan laut yang sebenarnya sudah saya lihat sebelumnya dari postingan orang - orang yang sudah berkunjung ke tempat ini, tapi karena apa yang terjadi saat itu enggak pernah terbersit di pikiran saya sebelumnya.





Terlihat banyak anak - anak yang sedang bermain di pantai, berlari ke sana kemari. Ada yang sedang berdiri di tengah karang. Ada yang sedang mengambil sebongkah pasir. Ada yang sedang berlarian menghadang ombak kecil yang datang. Lalu dalam seketika, saat melihat kami sampai, mereka langsung berlari ke arah kami dengan wajah girang, sambil berteriak "EXON, EXON! EXON EXON!". Tentu saja saya, yang saat itu masih kaget dihampiri oleh mereka, semakin kebingungan sambil mencerna kata - kata mereka. Awalnya saya kira mereka berteriak memanggil nama EXO, dan sempat berpikir, "Wah EXO hebat juga bisa dikenal sampai di kalangan anak - anak Sumba!" Sampai akhirnya Bang Jo bilang kalau kata - kata yang mereka bilang itu adalah "Action!", yang artinya minta difoto :))

Kata Bang Jo, kami beruntung datang ketika anak - anak ini sedang bermain karena enggak setiap hari mereka datang ke sana, serta tanpa adanya wisatawan yang biasanya berkunjung ke sana. Dan saya setuju dengannya. Kami memang beruntung bisa sepenuhnya menikmati Pantai Bawana ini, terutama karena kami tidak dikejar oleh waktu. Sekitar hampir satu jam kami di sana hanya menikmati suasana yang belum tentu kami dapatkan kembali. Ditemani dengan angin pantai yang sepoi - sepoi, kami duduk di salah satu karang. Sementara Ican dan Bang Jo mengobrol, saya masih terkesima dengan suasana sore itu, di mana air laut mulai surut dan semakin banyak anak - anak kecil yang membawa ember untuk mengambil hewan laut yang terbawa ke daratan. Melihat betapa bahagianya anak - anak itu saat bermain pasir dan air, serta kehangatan yang diberikan ke kami yang hanyalah sosok asing di mata mereka, enggak akan mungkin kami enggak tersentuh oleh Sumba.

Hanya satu hal yang kami sayangkan dari mereka, yaitu ketika beberapa anak berkata, "Minta uang!" Disitulah saya paham maksud Bang Jo, ketika sebelumnya bilang kalau Sumba Barat ini berbeda pemikirannya dengan orang - orang di Sumba Timur. Kebanyakan warga di di sini masih hanya memikirkan uang, terutama ketika melihat pengunjung. Sayangnya, mindset orang tua mereka sudah melekat di anak - anak kecil tersebut. Bahkan ada salah satu anak yang terlihat malu - malu namun mengikuti kami hingga kami pulang. Saya kira awalnya anak tersebut memang tertarik dengan kami hingga mau menemani kami. Saya pun beberapa kali mengajak ngobrol, tapi jawabannya hanya sepatah dua patah kata. Sampai akhirnya di penghujung pertemuan kami, anak tersebut (ternyata) juga meminta hal yang sama.






Setelah jam sudah menunjukkan pukul 17.00, kami beranjak kembali menuju tempat mobil kami diparkirkan. Kurang dari lima menit, kami tiba di bukit kecil yang di sisi kanannya menghadap ke arah matahari terbenam sekaligus Pantai Bawana. Sambil menunggu senja, kami duduk di hamparan rumput kering sambil menikmati angin sore yang semakin dingin, serta sekeliling kami yang rupanya semakin ramai. Enggak lama setelah kami datang, segerombolan bapak - bapak berkumpul enggak jauh dari tempat duduk kami sambal membawa bir. Kata Bang Jo, penduduk setempat memang suka minum bareng pada jam - jam tersebut. Lalu enggak lama setelah kedatangan mereka, ada beberapa anak kecil yang memainkan layang - layang. Sementara itu ketika langit sudah berubah warna menjadi perpaduan ungu, merah muda, dan oranye, sekelompok burung camar tiba - tiba muncul dan berterbangan di atas kami. Dan di depan kami, matahari yang saat itu sudah berwarna merah, perlahan - lahan tenggelam di antara lautan. Seingat saya, sore itu adalah salah satu sore terbaik yang saya dapatkan tahun ini. 

4 Comments

  1. Thanks for sharing kak Ozu, aku seneng banget kamu jelasin detil bahkan mention harga. Sungguh sumba jadi semangatku kerja bbrp waktu terakhir. Karena sepertinya menyuguhkan pemandangan indah yg beda

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaa Erny, aku pun pas nulis ini jadi bikin semangat juga karena kebayang - bayang suasana Sumba yang menyenangkan. Pengen balik lagi rasanyaa X(

      Delete
  2. Bagus banget Zuuu foto2nya. Masih berharap bakal ngeliat foto2 lain dari Sumba di blog ini :D

    ReplyDelete
    Replies
    1. Makasih Dixiiie. Iya Dix, tenang ajaa, masih ada satu blog post lagi tentang Sumba X)

      Delete

Post a Comment