Hari ini tepat seminggu sejak saya sakit dan dipaksa untuk bedrest, walaupun tetep aja akhirnya curi - curi keluar rumah karena enggak bisa tahan kebosanan di atas kasur. Salah satu adegan curi - curi itu adalah hari Minggu sore kemarin, ketika saya diundang ke sebuah gathering kecil yang mirip dengan book club. Ini kedua kalinya saya diundang, yang mana saat awal Desember lalu saya enggak bisa hadir karena sedang dinas. Makanya kali ini saya harus datang, pikir saya, walaupun yang artinya saya harus melanggar perintah dokter untuk bedrest. Tapi saya enggak menyesal bela - belain datang ke acara tersebut, bertemu dengan orang - orang baru yang sama sekali belum pernah saya temui dan bahkan kenal sebelumnya. Di acara itu kami berbicara tentang buku - buku favorit kami, sambil sesekali menyeruput secangkir kopi, teh maupun hot chocolate. Orang - orang ini sangatlah unik dan menarik, terlihat jelas dari buku yang mereka pilih dan cara penyampaian mereka tentang buku - buku favorit mereka tersebut. Puncaknya adalah ketika salah seorang dari mereka menangis bahkan sebelum membicarakan buku tersebut. Raut wajahnya yang sebelumnya terlihat sama sekali tenang dan ceria, dalam seketika senyumannnya saat itu dibarengi dengan air mata. Saat itu saya cukup kaget dan saya yakin saat itu bukan hanya saya yang merasa seperti itu. Kemudian ia bercerita bahwa suatu waktu ketika ia berada di salah satu bagian terendah dalam hidupnya, ketika ia sangat vulnerable, dan saat itulah buku itu dibacanya berulang kali, menghibur dirinya dan bahkan mungkin membuatnya kembali menjadi seorang manusia yang tegar dan bahagia seperti sekarang. Dari penjelasan singkatnya, buku itu mengajarkan kita untuk menerima segala kekurangan, kerentanan dan ketidaksempurnaan diri kita, sehingga bisa membuat kita menjalani hidup dengan sepenuh hati. Entah kenapa, pembicaraan saat itu terus bergema di telinga saya sampai akhirnya saya menemukan beberapa kalimat yang diambil dari buku tersebut.
Saya belum pernah membaca buku tersebut, tetapi mendengar penjelasan darinya dan terlebih lagi membaca beberapa paragraf diatas membuat saya tersadar bahwa saya adalah bagian dari orang - orang tersebut. Orang - orang yang tanpa sadar hampir selalu menunjukkan sisi 'baik' nya aja, mengambil langkah 'aman' karena takut dijudge, meyakinkan diri untuk selalu menjadi orang yang tangguh dan kuat, serta memakai topeng karena takut mengecewakan orang lain ketika mereka menyadari bahwa saya bukan sebaik yang mereka pikir. Mengobservasi berbagai macam orang melalui media sosial, membuat saya sadar akan satu hal bahwa pada dasarnya kita semua ingin bisa lebih dari orang lain. Lebih hebat, lebih bahagia, lebih tangguh, lebih baik dan lebih ideal. Mungkin itu memang udah bagian yang enggak terpisahkan dari sifat manusia. Tetapi hidup di sebuah kelompok masyarakat yang seolah - olah terus bersaing untuk menunjukkan kelebihan dan kekuatannya, semakin membuat saya menjadi seperti mereka. Dan lebih parahnya lagi adalah, tanpa sadar, saya juga memberikan penyangkalan yang sama terhadap diri saya sendiri bahwa saya 'lebih' dari diri saya yang sebenarnya. Pada akhirnya memberikan tekanan yang cukup besar bagi saya terutama beberapa saat belakangan ini. I kept pushing myself so hard, overthinking everything, and comparing my life to others'. The worst part of it all was the fact that I became my own enemy.
Sampai akhirnya saya enggak kuat dan melepaskan segala beban di pikiran saya ini ke salah satu orang terdekat saya. Walaupun sebenarnya saat itu saya enggak banyak berkata - kata, tetapi responnya langsung menjawab apa yang ada di pikiran saya, "Kamu hanya perlu menerima diri kamu apa adanya dan menerima segala kekurangan kamu.. see? it's that simple!". Entah hanya sebuah kebetulan, atau memang Tuhan mencoba untuk mengingatkan saya, seolah - olah perpaduan antara perbincangan sore sebelumnya dengan perkataannya malam itu membuat saya sadar akan satu hal bahwa I was living someone else's life, sampai saya lupa dengan diri saya sendiri. Akhirnya sekarang setelah saya menyadari itu, saya berusaha untuk selalu lebih jujur dengan diri saya, menerima segala kekurangan saya dan tidak memaksakan apa yang di luar kapabilitas diri saya. Dan terlebih lagi, mencoba melepas topeng yang saya pakai sebelum terlalu melekat di wajah saya. That doesn't mean I will show all my weaknesses and secrets to everyone out there, tapi cukup memperlihatkan bahwa I am just human, I am imperfect, I am fragile and so I won't pretend to be someone I'm not. And I hope you do too! :)
Being vulnerable is not about showing the parts of you that are polished; it’s about revealing the unpolished parts you would rather keep hidden from the world. It’s about looking out into the world with an honest, open heart and saying, “This is me. Take me or leave me".
It’s hard to consciously choose vulnerability. Why? Because the stakes are high. If you reveal your authentic self, there is the possibility that you will be misunderstood, judged, or even rejected. The fear of these things is so powerful that you put on an armored mask to protect yourself. But, of course, this only perpetuates the pain you are trying to avoid.
The truth is nothing worthwhile in this world is a safe bet. Since love and happiness are born out of your willingness to be vulnerable – to be open to something wonderful that could be taken away from you – when you hide from your vulnerability, you automatically hide from everything in life worth attaining.
Daring Greatly, Brené Brown
Saya belum pernah membaca buku tersebut, tetapi mendengar penjelasan darinya dan terlebih lagi membaca beberapa paragraf diatas membuat saya tersadar bahwa saya adalah bagian dari orang - orang tersebut. Orang - orang yang tanpa sadar hampir selalu menunjukkan sisi 'baik' nya aja, mengambil langkah 'aman' karena takut dijudge, meyakinkan diri untuk selalu menjadi orang yang tangguh dan kuat, serta memakai topeng karena takut mengecewakan orang lain ketika mereka menyadari bahwa saya bukan sebaik yang mereka pikir. Mengobservasi berbagai macam orang melalui media sosial, membuat saya sadar akan satu hal bahwa pada dasarnya kita semua ingin bisa lebih dari orang lain. Lebih hebat, lebih bahagia, lebih tangguh, lebih baik dan lebih ideal. Mungkin itu memang udah bagian yang enggak terpisahkan dari sifat manusia. Tetapi hidup di sebuah kelompok masyarakat yang seolah - olah terus bersaing untuk menunjukkan kelebihan dan kekuatannya, semakin membuat saya menjadi seperti mereka. Dan lebih parahnya lagi adalah, tanpa sadar, saya juga memberikan penyangkalan yang sama terhadap diri saya sendiri bahwa saya 'lebih' dari diri saya yang sebenarnya. Pada akhirnya memberikan tekanan yang cukup besar bagi saya terutama beberapa saat belakangan ini. I kept pushing myself so hard, overthinking everything, and comparing my life to others'. The worst part of it all was the fact that I became my own enemy.
Sampai akhirnya saya enggak kuat dan melepaskan segala beban di pikiran saya ini ke salah satu orang terdekat saya. Walaupun sebenarnya saat itu saya enggak banyak berkata - kata, tetapi responnya langsung menjawab apa yang ada di pikiran saya, "Kamu hanya perlu menerima diri kamu apa adanya dan menerima segala kekurangan kamu.. see? it's that simple!". Entah hanya sebuah kebetulan, atau memang Tuhan mencoba untuk mengingatkan saya, seolah - olah perpaduan antara perbincangan sore sebelumnya dengan perkataannya malam itu membuat saya sadar akan satu hal bahwa I was living someone else's life, sampai saya lupa dengan diri saya sendiri. Akhirnya sekarang setelah saya menyadari itu, saya berusaha untuk selalu lebih jujur dengan diri saya, menerima segala kekurangan saya dan tidak memaksakan apa yang di luar kapabilitas diri saya. Dan terlebih lagi, mencoba melepas topeng yang saya pakai sebelum terlalu melekat di wajah saya. That doesn't mean I will show all my weaknesses and secrets to everyone out there, tapi cukup memperlihatkan bahwa I am just human, I am imperfect, I am fragile and so I won't pretend to be someone I'm not. And I hope you do too! :)
" I kept pushing myself so hard, overthinking everything, and comparing my life to others'. The worst part of it all was the fact that I became my own enemy. " setuju banget lah sama yang ini. Btw gws kak ozu :)
ReplyDeleteHehehe... makasi ghea! :)
DeleteBahasan buku itu cukup nyentil semua yang datang ya. Including me :) Thank you for coming, Ozu. Btw, kamu ternyata lagi harus bedrest? huhu..maaf ya kami ga tahu. Get well soon, Ozu.
ReplyDeleteKyaa ada Mamiir! Ih gapapaa, aku emang udh pengen banget dtg, makanya sengaja enggak ngasih tau hehe. Makasi Mamiir :)
Deletekebanyakan orang lebih senang pada kondisi nyaman, tak banyak yang memilih untuk mengambil resiko meskipun hasilnya adalah sebuah kesuksesan.
ReplyDeletecouldn't agree more! "life begins at the end of your comfort zone"
DeleteI really agree with you Ozu, mari kita menerima buruk baiknya diri kita apa adanya dan mengoptimalkannya untuk kebahagiaan kita :)
ReplyDeleteThank you for share,
Salam kenal
Athia :)
Hallo Athia! Thanks for reading my blog yaa. Salam kenal juga :)
Delete