Memandangi langit kelabu Rotterdam yang disertai dengan hujan dan angin kencang selama seminggu penuh, membuat saya rindu akan hari - hari penuh warna dan limpahan cahaya matahari pada akhir bulan April tahun lalu. Memakai blouse tipis yang dipakai dengan palazzo pants, midi skirt, dress atau jumpsuit bernuansa bunga - bunga di musim semi. Mengeluarkan kembali espadrilles dan sandal yang sudah berdebu karena terlalu lama tersimpan dalam rak sepatu. Juga, sunglasses beserta fedora atau straw hat yang bukan hanya dipakai untuk bergaya, tapi memang untuk menutupi terik yang menyilaukan mata. Sambil menyusuri bangunan berwarna pastel disertai dengan beberapa potong pakaian yang sedang dijemur, sesekali angin datang sepoi - sepoi. Saat itu juga langsung tercium aroma khas air laut. Asin, tapi sudah lama dirindukan.
Benvenuto a Venezia!, teriak beberapa pengayuh gondola dengan topi fedora dan kaos bergaris putih-merah yang sedang berdiri di tepian, seraya menunggu penumpang berikutnya. Saat itu masih awal musim semi, dan belum memasuki musim liburan – setidaknya menurut kalendar nasional maupun internasional. Tapi sejauh mata memandang, yang terlihat hanyalah sosok seperti saya ini. Kamera bergantung di leher sambil membaca peta di tangan yang didapat entah dari hotel, pusat informasi wisatawan, atau dari abang Google. Meskipun ada juga yang sedang asik berjemur di veranda sebuah bangunan tua dengan papan yang mengindikasikan nama hotel. Ada yang sambil membaca buku, ada yang sambil memandangi ratusan turis lainnya yang lalu lalang di jalanan depan mereka. Namun ketimbang membuka peta, saya dan ketiga teman saya lainnya hanya berjalan dan berjalan mengikuti arus ke mana ratusan turis ini bermuara. Venezia kan kecil, pasti mentok - mentok akan ketemu juga dengan ujungnya.
Setelah melewati jalanan kecil dengan penuh kelokan, kami sampai di sebuah jembatan putih bernama Ponte di Rialto. Hari itu matahari sudah terbenam dan sumber cahaya hanya terpusat di beberapa tempat yang ramai oleh turis. Dari atas terlihat beberapa gondola masih mengapung di sungai yang sudah gelap. Sementara di sepanjang tepian sungai kelihatan lebih terang, dipenuhi oleh berbagai restoran dengan hampir sembilan puluh lima persen pengunjungnya adalah sepasang kekasih. Lucunya, begitu kami mengambil sebuah jalan kecil di balik restoran - restoran tersebut, suasana kota seketika langsung berubah seratus delapan puluh derajat. Hening. Hanya ada lampu remang - remang di sepanjang jalanan yang gelap gulita. Bahkan bangunan tua di sekitarnya pun terlihat gelap, seperti tanpa penghuni. Dan disitulah akhirnya kami cepat - cepat membuka peta untuk menuntun kami kembali ke terminal bus di dekat Stasiun Santa Lucia. Saat itulah pelajaran hari pertama di Venezia tercatat jelas di benak saya: jangan lupa untuk membawa dan menggunakan peta! Meskipun kecil, di kota ini banyak sekali jalanan yang penuh kelokan dan terlihat serupa. Seperti sedang bermain di sebuah labirin, lengah sedikit pasti akan tersesat dan sulit menemukan jalan keluar.
Diantara hingar bingar yang berasal dari hentakan kaki ratusan pengunjung di daratan maupun bunyi belasan – atau mungkin puluhan – perahu mesin di perairan, terdengar alunan musik tarantella yang dimainkan oleh musisi jalanan. Padahal musisi tersebut tidak begitu dekat dari tempat kami berdiri, tapi bunyinya yang keras, riang, dan penuh energi ternyata berhasil membuat seisi kota ini terasa hidup. Tidak terkecuali saya, yang ikutan bersemangat karena perjalanan hari ini diawali dengan mengunjungi sebuah pulau kecil penuh warna yang terletak hanya sebelas kilometer dari Venezia.
Berbeda dengan suasana di Venezia yang hidup, Burano terasa jauuuh lebih santai. Dengan warna - warna rumah yang lebih pekat dan terang, sinar matahari yang terik membuat pulau ini terlihat seperti pelangi dengan gradasi warna yang tidak terhitung. Cantik. Cantik sekali. Sulit dijelaskan dengan kata - kata karena begitu banyak keunikan yang dimiliki hanya dari sebuah rumah. Mulai dari bentuk atap, pola gorden, jenis tanaman, warna pot, hingga kotak pos pun berbeda dari satu rumah ke rumah lainnya.
Sayangnya hari saya di Burano berakhir tidak begitu menyenangkan. Setelah mencoba untuk menikmatinya beberapa kali, ternyata tetap tidak bisa. Tempat ini terlalu turistik. Hampir setiap langkah pasti ada saja turis yang foto. Entah di tengah jalan, di depan rumah yang ingin saya foto, di jembatan, pokoknya di mana - mana. Saya pun termasuk bagian dari mereka, tapi bukan mereka yang asik mengambil foto diri mereka sendiri hingga lupa bahwa tempat ini bukanlah punya nenek moyang mereka. Bukan hanya sekali foto, tapi berkali - kali hingga mau lewat saja susah karena harus menunggu sesi foto turis tersebut selesai. E-e-eh, baru mau melangkah, sudah ada turis lain yang pose! Mungkin lain hari, ketika Burano sudah sepi, saya akan lebih bisa menikmati kecantikannya.
Di hari terakhir, begitu teman - teman saya sudah pergi lebih dulu ke kota lain, ada dua hal yang ingin saya lakukan. Pertama, mengunjungi toko buku legendaris di Venezia, Libreria Acqua Alta. Tempatnya yang berada di sebuah pojokkan dan jauh dari keramaian membuat saya sedikit merasa lega. Begitu masuk ke dalam dan menemukan ternyata tidak begitu banyak pengunjung, hati saya semakin lega. Maklum, dari awal saya sudah takut kalau toko buku ini akan seperti Shakespeare and Company di Paris yang selalu penuh, hingga jalan saja sulit. Tanpa diperhatikan seksama pun sudah terlihat jelas apa yang membuat toko buku ini unik. Alkisah, karena ada bulan - bulan tertentu ketika air membanjiri seisi kota, maka tindakan preventif sang pemilik toko buku ini adalah menaruh tumpukan buku di dalam beberapa tempat yang bisa menyelamatkan mereka dari air. Akhirnya beberapa furniture seperti gondola, bathub, hingga canoe pun digunakan sebagai rak buku.
Hal selanjutnya yang saya lakukan adalah mencari tempat sunyi. Dua hari dikelilingi oleh begitu banyak orang ternyata membuat saya mudah lelah dari biasanya. Siapa sangka, ternyata bisa juga saya menemukan kesunyian tanpa susah payah. Sebuah tempat di tepian sungai yang saya temukan secara tidak sengaja ketika sedang menyusuri jalan ke sini dan ke situ. Akhirnya tanpa pikir panjang, saya duduk dan mengambil buku yang sudah saya tenteng sedari tadi. Buku mewarnai yang setiap gambarnya mewakili ciri khas Venezia. Ini baru pertama kalinya saya membeli buku mewarnai karena pada dasarnya saya tidak begitu suka mewarnai. Lebih tepatnya, tidak pandai. Tapi buku ini lah yang membuat saya semakin yakin dan secara impulsif membeli tiket untuk datang ke Venezia. Seru juga ternyata mewarnai sebuah objek sambil melihat langsung penampakkan aslinya di depan mata! Setelah beberapa saat hanya bersama dengan kuas, stroberi, dan suara air yang bergemuruh setiap kali ada perahu dan gondola yang datang, akhirnya selesai juga satu halaman penuh warna. Tidak terasa empat puluh menit sudah berlalu! Dan saat itu juga energi saya sudah kembali terisi. Saatnya melanjutkan perjalanan ke destinasi berikutnya. Ciao, Venezia!
Wow.. Indah sekali..
ReplyDelete