Bisa dibilang salah satu berkah dari #stayathome yang besok sudah memasuki minggu ketiga adalah merealisasikan hal - hal yang sudah lama menjadi wacana. Untuk mengumpulkan niat menulis postingan ini aja butuh tiga bulan, loh! Padahal ide dan fotonya udah siap dari kapan tau :)) Buat yang udah baca blog ini sejak lama pasti ngeh kalo saya bukan tipe yang suka memberikan review. Yaa, bisa dihitunglah blog post yang isinya review-an saya. Enggak tau ya, dari dulu saya memang paling males disuruh bikin sebuah ulasan – apa pun bentuknya. Tapi sekalinya saya membuat review, tandanya memang saya benar - benar tersentuh (dengan kebaikan atau keburukan hal tersebut). Nah, kali ini alasan saya bikin book review ini karena ada beberapa buku yang belakangan ini menyentuh hati saya #cieilah (daaan mumpung lagi niat nulis hehe).
Before the Coffee Gets Cold (4/5)
Dari pertama kali melihat cover dan sinopsis buku ini, saya langsung tertarik untuk membacanya. Pada dasarnya buku ini tentang sebuah kafe mungil yang terletak di salah satu gang kecil di Tokyo, yang mana selain menyuguhkan makanan dan minuman (layaknya sebuah kafe), tempat ini juga memberikan kesempatan untuk time travel. Hal yang paling menarik adalah salah satu persyaratannya yang mengharuskan si time traveler harus kembali ke masa sekarang sebelum kopi yang disuguhkan menjadi dingin. Dari segi cerita, the idea of going back to the past has got my interest, personally. Ada salah satu penyesalan terbesar dalam hidup saya yang membuat saya sampai sekarang masih berharap bisa kembali ke masa lalu. Dan mungkin hal ini yang membuat saya merasa relatable dengan ide yang mendasari cerita di buku ini. Membaca pengalaman empat orang yang berbeda dan bagaimana time travel bisa mengubah kehidupan mereka, membuat saya cukup dibuat naik - turun emosinya. Apalagi dikemas dalam kata - kata yang sederhana (and yet beautiful), serta beberapa detail tempat dan berbagai karakter yang memiliki keunikan tersendiri; membuat buku ini semakin menyenangkan untuk dibaca.
The Shadow of the Wind (4.5/5)
The Boy, the Mole, the Fox and the Horse (4.5/5)
Pertama kali saya tau buku ini sebenernya ketika saya ke Barcelona tahun lalu. Udah beberapa tahun silam salah satu hal yang saya cari ketika traveling adalah membeli buku yang ditulis oleh penulis lokal di negara atau kota yang saya kunjungi. Waktu itu saya mencari "the best Spanish novel of all time", dan dari sekian novel yang direkomendasikan, pilihan saya akhirnya jatuh pada buku karangan Carloz Ruiz Zafon. Jujur aja nih, saya sebenernya enggak terlalu keen on reading thick books. Kalo saya sampai beli buku yang tebalnya udah di atas 200 halaman, tandanya saya benar - benar tertarik dengan buku tersebut. Setelah membaca review di Goodreads yang tinggi, sinopsis yang menarik, serta setting ceritanya yang di Barcelona (((penting))); saya rasa buku ini worth buying and reading.
Dan ternyata memang sebagus itu! Jarang - jarang saya menemukan buku yang bisa terus bikin saya penasaran dan tertarik untuk terus membacanya for a few consecutive days. This book kept me hook from the first page till halfway through it. Saya rasa perpaduan antara narasi yang indah serta alur ceritanya yang dari awal udah membuat penasaran, membuat saya mudah untuk menyukai buku ini dari beberapa halaman pertama. Tapi hal yang paling saya kagumi dari novel ini adalah ceritanya yang enggak ketebak sama sekali. You'll never guess what kind of story this book is going to reveal. Not to mention, the author's rich imagination and the way he unfolds the story through an in-depth explanation of each character deserve two thumbs up!
But no novel is perfect. Kadang banyak hal yang dijelaskan terlalu detail sehingga jadi terkesan bertele - tele dan seringkali membuat saya kehilangan fokus. Hal lainnya adalah cara penulis yang jump around dalam memperkenalkan karakter - karakter baru dan menghubungkan antara satu karakter dengan karakter lainnya. It was very hard for me to keep everything straight in my head. Beberapa kali saya jadi pusing dan mesti bolak balik ke chapter sebelumnya untuk kembali mengingatkan saya dengan beberapa karakter dan cerita yang sudah dijelaskan.
Dan ternyata memang sebagus itu! Jarang - jarang saya menemukan buku yang bisa terus bikin saya penasaran dan tertarik untuk terus membacanya for a few consecutive days. This book kept me hook from the first page till halfway through it. Saya rasa perpaduan antara narasi yang indah serta alur ceritanya yang dari awal udah membuat penasaran, membuat saya mudah untuk menyukai buku ini dari beberapa halaman pertama. Tapi hal yang paling saya kagumi dari novel ini adalah ceritanya yang enggak ketebak sama sekali. You'll never guess what kind of story this book is going to reveal. Not to mention, the author's rich imagination and the way he unfolds the story through an in-depth explanation of each character deserve two thumbs up!
But no novel is perfect. Kadang banyak hal yang dijelaskan terlalu detail sehingga jadi terkesan bertele - tele dan seringkali membuat saya kehilangan fokus. Hal lainnya adalah cara penulis yang jump around dalam memperkenalkan karakter - karakter baru dan menghubungkan antara satu karakter dengan karakter lainnya. It was very hard for me to keep everything straight in my head. Beberapa kali saya jadi pusing dan mesti bolak balik ke chapter sebelumnya untuk kembali mengingatkan saya dengan beberapa karakter dan cerita yang sudah dijelaskan.
The Boy, the Mole, the Fox and the Horse (4.5/5)
Buku ini langsung mengingatkan saya dengan The Little Prince, terutama dari segi beberapa jenis karakternya, serta cara penyampaian pesan yang penting dan serius melalui cerita dan perumpamaan yang disajikan secara (lebih) sederhana dan straigthforward. Ketika membaca ini, saya agak menyesal kenapa buku ini baru ada sekarang. Kalau aja buku ini udah terbit dari beberapa tahun lalu, saya bisa bayangkan buku ini bisa menjadi teman pengingat di kala saya sedang down. Banyaaak banget kata - kata yang langsung "jleb" begitu dibaca. "When have you been at your strongest? When I have dared to show my weakness" "Asking for help isn't giving up. It's refusing to give up" "Sometimes just getting up and carrying on is brave and magnificent""Is your glass half empty or half full? I think I'm grateful to have a glass" Saya juga suka dengan desain tulisan dan gambar buku ini, yang membuat semakin nyaman ketika membacanya dan enggak membosankan meskipun udah dibaca berkali - kali. Minor comments: I wish there could be more drawings (on the blank pages) inside the book.
Waaah yang Before the Coffee Gets Cold menariik! Pas banget lagi suka baca novel jepang yang tipis (sama, sekarang males banget baca buku tebel, hahaha). Makasih rekomendasinya zuuu!
ReplyDeleteSamaa samaa miraaa! semoga kamu suka bukunya as much as I do yaaa :)
Deletebtw aku seneng denger ternyata bukan aku doang yg males baca buku tebal sekarang *soalnya sempat bersalah + malu mengakuinya hahaha*
Wahh.. aku baru tau Before The Coffee Gets Cold ada bukunya �� aku pernah nonton filmnya dan rada kepikiran juga sama konsep ceritanya yang bagiku cukup menyuarakan isi hati ��.
ReplyDeleteAnyway, thanks for sharing ��
Wahhh aku malah baru tau ada filmnya. Makasih juga yaa buat infonya :)
Delete