Andalusia: The City of Contemplation

Andalusia. Sebelum berkunjung ke sana, tempat ini selalu mengingatkan saya akan mimpi yang tertunda. Bukan, saya bukan bercerita tentang kisah Santiago di The Alchemist yang akhirnya berkelana meninggalkan Andalusia untuk mencapai mimpinya. Melainkan mimpi saya untuk berkunjung ke Andalusia yang sudah tertunda dari lima tahun yang lalu karena keberuntungan dan kesempatan belum berpihak dengan saya. Namun setelah perjalanan ini, Andalusia selalu mengingatkan saya dengan keegoisan saya sebagai seorang anak sekaligus teman perjalanan. Terkadang, melihat dan merasakan hal - hal baru selama di perjalanan membuat saya gagal untuk memperhatikan apa yang ada di depan mata saya. Begitu pula kali ini, saya yang terlalu bersemangat saat mengunjungi tempat baru dan terlalu sibuk menangkap setiap momen yang terlalui supaya bisa terekam lebih lama di dalam otak saya, hingga lupa untuk memaknai teman perjalanan saya, yang enggak lain adalah ibu saya sendiri.







Sebelum perjalanan ini saya dan Bunda udah sempat beberapa kali traveling berduaan. Mulai dari umroh bareng hingga ke Belitung dan Banjarmasin. Tapi saya baru sadar satu hal setelah melewati perjalanan kali ini, kalau beberapa trip sebelumnya adalah trip "seneng - seneng" yang udah diatur sama orang lain dan jauh dari kata "capek". Sementara kali ini semuanya saya yang ngatur, mulai dari itinerary, transportasi, akomodasi, hingga kebanyakan destinasi yang mau dikunjungi pun atas ide dari saya. Saya sih enggak keberatan sama sekali, karena bagi saya membuat itinerary ke tempat baru itu selalu menyenangkan. Lagipula saya udah terbiasa membuat itinerary, jadi untuk kali ini pun saya membuatnya seperti saat saya mau solo trip atau pergi bareng Gladyz. Keseringannya sih Bunda setuju dengan rencana saya dan jarang sekali komplain... meskipun ada beberapa kali Bunda mengeluh.

Seperti ketika di Porto, Bunda sempat mengeluh karena saya lebih memilih jalan ketimbang naik bus atau tram. Bukan cuma sekali atau dua kali, tapi sering. Dan tetep aja saya mengulanginya karena saya mikir Bunda mengeluh karena udah enggak terbiasa jalan. Secara gitu kan di Jakarta sebentar - sebentar naik mobil, dan kalau pun jalan, ya jalannya di dalam mall. Ditambah pula karena selama keseharian tinggal bersama Bunda, saya selalu melihat sosok beliau yang penuh dengan energi, jadi saya merasa kapasitas tenaga kami masih sama. Padahal seharusnya, beberapa kali mendengar Bunda mengeluh karena berjalan terlalu jauh, saya udah sadar kalau langkah kami berbeda. 

Lalu ketika di Lisbon, Bunda sempat maksa buat naik tourist tram ketimbang tram biasa. Memang sih, enaknya tram ini langsung melewati segala must-visit spots di Lisbon, yang mana kalau menggunakan tram biasa mesti ganti beberapa kali, yang artinya juga memakan lebih banyak tenaga dan waktu. Tapi namanya juga Ozu, yang kalau traveling maunya menghindari tourist trap dan sebisa mungkin untuk locale. Iya, saya masih melihat dari kacamata saya, bukan dari sudut pandang Bunda. Sampai di situ, saya masih aja belum sadar kalau kapasitas dan energi Bunda udah berbeda dari saya. Masih aja yang ada di pikiran saya cuma mengeksplore kota yang saya kunjungi dengan gaya ala saya. Egois memang.






Diantara berbagai hal yang sebelumnya saya lakukan, satu hal yang paling bikin saya enggak habis pikir adalah memesan tiket Flix Bus dari Lisbon ke Seville. Bukan masalah berapa lama perjalanannya, tapi waktu tiba di Seville yang kurang tepat. Jam enam pagi. Bahkan di Rotterdam masih belum ada bus yang jalan jam segitu! Dan saya udah tau sih, makanya saya pesan hotel yang "dekat" dari stasiun, yaa sekitar 1 km. Dekat sih... tapi saya jalannya bareng Bunda, dan masih pagi buta, dan masih capek karena belum istirahat dari Lisbon, dan dingin karena saat itu masih Januari. Meskipun Spanyol jauh lebih hangat ketimbang Belanda, tapi di hari itu dan di jam segitu, dinginnya tetap aja menggigit. Begitu tiba di stasiun, ternyata sama sekali enggak ada taksi yang mangkal. Jadi mau enggak mau kami tetap jalan kaki. Di saat itu, Bunda yang wajahnya udah kesal enggak berkomentar apa - apa. Setelah berjalan kaki menuju hotel dengan mengandalkan Gmaps, saya tiba di sebuah B&B, Pension Perez Montilla, untuk check-in dan mengambil kunci kamar kami. Oh iya, jadi si B&B tempat kami menginap, Pension La Montorena, sempat memberi informasi kalau resepsionis mereka baru buka jam 8 pagi. Jadi bagi kami yang datang lebih pagi, harus check-in di Pension Perez Montilla yang katanya hanya berjarak 50 meter.







Iya sih, memang jarak antar kedua B&B tersebut sangat dekat... tapi yang jadi masalah adalah ketika sampai di Pension Perez Montilla, sang petugas - yang akhirnya keluar membuka pintu B&B setelah beberapa kali saya memencet bel - bilang kalau mereka enggak memegang kunci kamar kami! Singkat cerita, kami tetap harus menunggu hingga jam 8 untuk bisa check-in, yang tandanya masih ada dua jam lagi. Saya pikir, "Oke, dua jam enggak lama kok". Bunda saat itu yang entah karena terlalu lelah atau terlalu kesal, enggak berkomentar sama sekali. Padahal biasanya kalau di kondisi seperti ini, kemungkinan besar yang akan Bunda lakukan adalah segera bayar untuk kamar baru di B&B ini sambil bilang, "Yaudah gapapalah kita nambah biaya lagi, yang penting bisa tidur nyaman dulu, meskipun cuma beberapa jam". Tapi yang Bunda lakukan saat itu hanya duduk di sebuah ruangan yang enggak terlalu besar, namun muat untuk kami berdua dan beberapa barang bawaan kami. Saat itu beliau hanya duduk bersender sambil memejamkan mata, sedangkan saya hanya duduk melihat Bunda sambil berpikir apa mungkin beliau bisa tidur di bangku keras dan dingin, yang mengingatkan saya dengan bangku taman. Lalu disitulah saya merasa bodoh dan menjadi anak yang paling egois. Di saat seperti ini masih aja lebih memilih untuk menghemat ketimbang memberikan kenyamanan buat Bunda setelah melewati perjalanan yang melelahkan? Di saat itu saya baru sadar kalau kebanyakan dari perjalanan ini saya selalu memposisikannya dari diri saya tanpa banyak mempertimbangkan dari sisi Bunda. Akhirnya tanpa ragu, saya langsung memesan kamar baru. Meskipun pada akhirnya kami hanya menggunakan kamar tersebut sekitar kurang lebih lima jam, saya enggak menyesal sama sekali dengan keputusan saya karena Bunda bisa istirahat dengan nyaman dan tidur dengan nyenyak. 


Semakin banyak melakukan perjalanan, saya semakin sadar satu hal. Bahwa terlepas dari seberapa detail saya merencanakannya, pasti selalu ada aja hal di luar rencana saya. Entah karena kecerobohan saya atau memang karena sifat dari perjalanan itu sendiri, yang seperti halnya dengan hidup, dipenuhi oleh berbagai faktor eksternal yang di luar kendali kita. Mungkin itu juga yang membuat saya ingin terus melakukan perjalanan baru. Selain mengisi celah akan rasa penasaran saya, memberi kenangan baru untuk dijadikan bahan cerita ke anak - anak saya suatu hari nanti, juga karena selalu ada pengalaman baru yang menjadi salah satu "guru" terbaik saya selama ini. 

6 Comments

  1. selalu seneng baca ceritamu kak ozu. semacam ada pesan tersendiri gitu. terus one day, pengeeeen bgt bisa jalan sama anak seperti kamu dan bunda

    ReplyDelete
    Replies
    1. makasihhh, erny! iya aku pun nanti kalo udah punya anak juga pengen traveling berdua... pengalamannya beda banget kalo cuma traveling berdua anak dan ibu. semoga mimpi kita bisa kesampaian yaaa :')

      Delete
  2. terimakasih sudah membuat blog ini kak ozuu. aku suka sekali foto2nya, ceritanya, layoutnya. Love, mussbolo :)

    ReplyDelete
    Replies
    1. Terima kasih juga udah berkunjung dan membaca blog ini, mussbolo :)

      Delete
  3. Jadi inget dulu jalan sama mamaku juga gitu, banyak pake jalannya, sampe acara ngambeg2an hahaha... tapi setelah ada anak-anak jadi nyadar, dulu juga sama mama harusnya gitu, lebih milih nyaman pake bus sembari mengukur kapasitas orang beda2. Keep up your nice works, Ozu!

    ReplyDelete
    Replies
    1. Iyaa mbaa, jalan bareng orang tua sama kaya jalan bareng anak kecil yaa :))

      Btw, tenkyuuu mba vicky <3

      Delete

Post a Comment