Reproduction of Happiness #85: Aybun's Visit

Siang ini saya baru kembali ke Rotterdam setelah sebelas hari traveling bareng Aybun. Sambil melihat pemandangan di luar kaca jendela pesawat menuju Rotterdam, pikiran saya kemana - mana, termasuk mengecek berbagai to-do-list yang sudah menunggu untuk dikerjakan. Rasanya pikiran saya kembali segar dan baterai dalam tubuh kembali penuh. Meskipun badan udah terasa pegal - pegal dan wajah sudah terlihat lelah, bahkan concealer dan gincu merah pun enggak bisa menutupi keletihan yang saya rasakan. Selama sebelas hari kemarin, kami mengunjungi 6 kota di Swiss (plus satu kota di Italia) dan hampir setiap hari kami selalu pergi dari sekitar sepuluh pagi hingga pukul delapan malam. Dimulai dari Zurich, Bern, Zermatt, Montreux, Geneva, dan Interlaken. Satu hal yang terus menerus saya tanyakan ke Aybun selama tiga hari terakhir, “aku aja secapek ini, gimana Aybun?”. Ini maksudnya bukan cuma karena faktor usia tapi juga karena mereka memulai perjalanan seminggu lebih awal dari saya. Mereka hanya senyam - senyum aja setiap ditanya begitu. “Mungkin capeknya termakan dengan semangat”, begitu kata mereka setelah beberapa kali saya mengulang pertanyaan yang sama.



Traveling bareng Aybun bukan cuma sekedar seneng - seneng. Setiap trip yang saya lalui bersama mereka membuat saya semakin peka dengan perubahan yang mereka maupun yang saya lalui. Ini ketiga kalinya saya traveling bareng Aybun, tapi ada aja hal baru yang saya dapatkan dari trip ini. Kalau diungkapkan ke dalam sebuah kata, trip kali ini disebut sebagai acceptance. Sama halnya dengan manusia pada umumnya, enggak ada orang tua yang sempurna dan enggak ada juga anak yang sempurna. Seberapapun usaha orangtua saya untuk memberikan yang terbaik ke anak - anaknya, selalu ada aja kekurangannya. Begitu juga sebaliknya, seberapapun usaha saya untuk menjadi anak yang memuaskan bagi orang tua saya, tetap aja selalu ada kekurangannya. Melalui trip ini, saya semakin menerima kedua hal tersebut. Toh terlepas dari ketidaksempurnaan dan keterbatasan tersebut, kami tetap menerima satu sama lain apa adanya, menyayangi satu sama lain, ingin membahagiakan satu sama lain, dan tetap berusaha memberikan yang terbaik satu sama lain. Apa yang lebih penting dari unconditional love, kan?


Selain itu, tentu aja kedatangan mereka tetaplah memberi kebahagiaan yang enggak bisa saya dapatkan dari orang lain. Selama hampir dua minggu bersama Aybun, satu hal yang kembali saya rasakan setelah sekian lama adalah perasaan campur aduk menjadi anak rantau yang jauh dari orangtuanya dan dikunjungi oleh mereka. Jadi inget masa - masa tinggal dan kuliah di Bandung dulu, terus dijenguk sama Aybun. Awalnya seneng tapi begitu udah mau pulang, ada perasaan sedih yang menghinggap. Sebuah perasaan seperti anak yang baru aja tinggal jauh dari orang tuanya. I guess no matter how old I am now, when it comes to dealing with my parents, I am still a lot like a young girl. 

(Diantara lautan awan putih dan langit biru, 3 Januari 2018). 

2 Comments

  1. Rasanya pas udah mau menjelang pisah lagi itu susah dijelasin banget ya mbak, kayak nggak rela gimana gitu :")

    ReplyDelete

Post a Comment